Ternate (ANTARA) - Komisi Pemilihan Umum Provinsi Maluku Utara menegaskan tidak ada perlakuan istimewa khusus bagi bakal calon gubernur Sherly Tjoanda yang diusulkan menggantikan Benny Laos, cagub yang meninggal dunia dalam peristiwa kebakaran kapal cepat di Taliabu.
"Saya ingin klarifikasi tanggapan pihak tertentu, KPU Maluku Utara menempatkan pengganti calon gubernur yang meninggal dunia sebagai keadaan force majeure dan tidak ada perlakuan khusus," kata Ketua KPU Maluku Utara Mochtar Alting di Ternate, Selasa.
Ia menjelaskan KPU tidak menggunakan istilah force majeure untuk menilai keadaan pengganti calon gubernur nomor urut 4. Akan tetapi, kalau keadaan force majeure itu disematkan pada peristiwa yang mengakibatkan calon yang telah ditetapkan KPU meninggal dunia, hal itu benar adanya.
Benny Laos yang telah ditetapkan sebagai calon gubernur berpasangan dengan Sarbin Sehe pada Pilkada 2024 mengalami peristiwa naas dan meninggal dunia pada 12 Oktober 2024 di Pelabuhan Bobong, Kabupaten Pulau Taliabu.
"Sehingga itu yang dimaksud force majeure pada peristiwa itu, sekali lagi bukan untuk disematkan kepada calon pengganti. Walaupun ada korelasi karena dalam waktu bersamaan, pengganti dari calon yang meninggal, keduanya berada dalam peristiwa naas tersebut dan juga sebagai korban," ujar Mochtar.
Oleh karena itu, tindakan KPU Provinsi Maluku Utara hanya melaksanakan ketentuan Pasal 54 UU 10 Tahun 2016 dan ketentuan derivatif yang berlaku, yaitu ketentuan yang normal diatur sehingga kewajiban KPU adalah menindaklanjuti usulan nama pengganti dari calon yang telah ditetapkan, tetapi kemudian meninggal dunia dan sangat prematur menggunakan istilah pengalihan rumah sakit.
"Tidak ada pengalihan karena KPU Maluku Utara dengan pihak RSUD Chasan Boesoerie Ternate mengikat diri secara keperdataan berbatas waktu, tidak selamanya. KPU melakukan perjanjian kerja sama dengan RSUD itu hanya pada saat pemeriksaan kesehatan empat pasangan calon saat itu saja. Ada klausul perjanjian karena setelah RSUD Chasan Boesoerie Ternate menyampaikan hasil pemeriksaan ke KPU Malut sebagai pihak pertama, di situlah berakhir kerja sama," ujarnya.
Ia menyatakan keadaan menjadi berbeda antara pengusulan pengganti dengan keadaan normal pencalonan sebelumnya adalah soal alokasi waktu yang tidak lagi sama.
Prosesnya sangat singkat untuk memproses calon gubernur pengganti yang diusulkan sehingga konstruksi norma mempertimbangkan soal persiapan logistik surat suara dan logistik lainnya yang juga membutuhkan waktu.
"Tidak hanya proses cetak, tetapi mulai dari validasi, cetak, distribusi, sortir hingga pelipatan," ujarnya.
Untuk itu, kata Mochtar, semuanya dipertimbangkan sesuai ketentuan yang berlaku, bukan murni variabel calon pengganti yang sedang dalam perawatan karena KPU tidak punya otoritas menilai keadaan kesehatan seseorang.
KPU hanya pertimbangkan pihak yang punya otoritas menilai keadaan seseorang dan menempuh sesuai jalur melalui koordinasi dengan pihak terkait, yaitu dinas kesehatan, sebagaimana amanat regulasi.
"Untuk itu, kalau ada pihak yang menilai KPU Provinsi Maluku Utara tidak berlaku adil terhadap setiap pasangan calon, silakan, kami berterima kasih, itu hak publik untuk menilai," katanya.
"Tetapi, perlu saya tegaskan, KPU tidak akan pernah bergeser dari posisi kami sebagai penyelenggara yang harus berlaku adil untuk semua pihak dan lahir dari pendirian sebagai penyelenggara pemilu sesuai amanat undang-undang, bahwa lembaga KPU adalah lembaga layanan dan layanannya untuk semua pihak tanpa diskriminasi," tambahnya.
Sebelumnya, sejumlah pihak meminta KPU hati-hati dengan tata cara dan prosedur pemeriksaan kesehatan yang telah ditetapkan.
KPU Maluku Utara juga diminta bersikap adil dan setara terhadap semua pasangan calon dalam seluruh proses tahapan pilkada, termasuk tahapan pemeriksaan kesehatan terhadap bakal calon gubernur Sherly Tjoanda.