Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman mengatakan bahwa kebijakan pemerintah menaikkan gaji hakim dapat menekan korupsi peradilan yang disebabkan masalah kebutuhan (corruption by need).
“Peningkatan kesejahteraan dari hakim itu dapat menekan korupsi karena masalah kebutuhan atau biasanya disebut sebagai corruption by need,” kata Zaenur saat dihubungi dari Jakarta, Jumat.
Zaenur mencontohkan kondisi kehidupan hakim yang bertugas di daerah terpencil.
Menurut dia, gaji yang sepadan akan memenuhi kebutuhan hidup yang cenderung lebih tinggi dibanding daerah lainnya.
“Misalnya, gaji hakim terbatas, tetapi hakimnya tinggal di area remote (terpencil) yang memiliki tingkat kemahalan harga yang jauh lebih tinggi sehingga ada kebutuhan nyata untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” tuturnya.
“Karena gajinya masih terbatas maka risiko untuk menerima godaan suap atau gratifikasi itu jauh lebih tinggi. Oleh karena itu, dengan dinaikkannya gaji hakim maka risiko untuk corruption by need itu dapat menjadi lebih rendah,” sambung dia.
Dia pun menilai keputusan menaikkan kesejahteraan hakim merupakan langkah tepat. Terlebih, gaji hakim di Indonesia tidak mengalami kenaikan signifikan dalam periode yang lama.
Kendati begitu, dalam konteks rasuah, Zaenur mengingatkan bahwa terdapat pula korupsi yang disebabkan oleh keserakahan (corruption by greed). Korupsi jenis itu dinilai tidak bisa diberantas hanya dengan meningkatkan kesejahteraan.
Dalam hal ini, ia menyoroti hakim-hakim yang terkena operasi tangkap tangan oleh aparat penegak hukum lantaran diduga terlibat tindak pidana korupsi.
Ia menyebut hakim-hakim itu cenderung senior.
“Tingkat kesejahteraannya sudah sangat tinggi itu masih menerima suap, bahkan untuk hakim agung, sehingga itu menunjukkan bahwa untuk yang corruption by greed tidak bisa diselesaikan dengan meningkatkan kesejahteraan. Butuh solusi lainnya, tidak sekadar menaikkan gaji hakim,” katanya.
Solusi yang dimaksud Zaenur menyangkut langkah terpadu, mulai dari perbaikan manajemen sumber daya manusia peradilan (SDM) hingga perbaikan kualitas pengawasan.
Manajemen SDM dapat dilakukan dengan menempatkan hakim-hakim berintegritas menjadi pimpinan di masing-masing satuan kerja, sementara perbaikan pengawasan dilakukan dengan penjatuhan sanksi yang tegas dan keras.
“Jadi, memang ini (menaikkan gaji hakim) adalah satu langkah baik, langkah penting, langkah perlu, tetapi tidak menjadi silver bullet (peluru perak/solusi ajaib) yang akan menyelesaikan semua masalah korupsi, masih dibutuhkan langkah-langkah lain,” imbuhnya.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto saat menghadiri pengukuhan 1.451 hakim pengadilan tingkat pertama di Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (12/6), mengumumkan kenaikan gaji hakim hingga 280 persen dari gaji saat ini.
“18 tahun hakim tidak menerima kenaikan, 3 persen pun tidak, 5 persen pun tidak. Hari ini, Presiden Prabowo Subianto ambil keputusan naik, yang paling junior 280 persen," kata Presiden dalam sambutannya.
Presiden Prabowo menyebut kenaikan gaji hakim tersebut bervariasi, tetapi yang tertinggi mencapai 280 persen untuk hakim golongan paling junior.
Kebijakan itu diambil demi meningkatkan kesejahteraan para hakim. Presiden pun menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukan bentuk pemanjaan, melainkan langkah strategis untuk memperkuat integritas sistem hukum nasional.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat: Kenaikan gaji hakim dapat tekan korupsi karena kebutuhan