Ambon (ANTARA) - Langkah tegas dan konsisten yang diambil oleh Gubernur Maluku Hendrik Lewerisa memperjuangkan keadilan atas kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) patut mendapat apresiasi yang tinggi dari seluruh masyarakat Maluku.
Jika kita memperhatikan pemberitaan akhir-akhir ini di berbagai media, perjuangan Gubernur sangat pantas diberi dukungan sepenuhnya.
Betapa tidak, di tengah pembicaraan dengan para petinggi di Jakarta, Gubernur sangat konsisten dengan statemen yang tegas kalau tidak mau dibilang keras, terhadap kebijakan pemerintah pusat terhadap Maluku berkaitan dengan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang terkesan tidak perduli dengan kesejahteraan rakyat Maluku.
Di tengah kompleksitas regulasi nasional dan dominasi kepentingan industri besar, Gubernur tampil mengumandangkan suara yang lantang dari negeri seribu pulau, membawa aspirasi nelayan, pelaku usaha lokal, dan komunitas pesisir ke ruang-ruang kebijakan pusat.
Keberanian menolak relaksasi transhipment yang merugikan daerah, serta dorongan untuk mengembalikan kewenangan fiskal dan teknis ke provinsi, menunjukkan komitmen nyata terhadap kedaulatan laut Maluku dan kesejahteraan rakyatnya.
Sebagai pemimpin yang memahami denyut nadi laut dan budaya konservasi lokal, Gubernur Lewerisa tidak hanya berbicara atas nama pemerintah, tetapi juga atas nama sejarah dan harapan masyarakat Maluku.
Dukungan terhadap hilirisasi sektor perikanan, optimalisasi pelabuhan pangkalan, dan penolakan terhadap praktik yang mengabaikan hak daerah, menjadi bukti bahwa beliau menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya.
Sudah saatnya seluruh elemen masyarakat Maluku, akademisi, tokoh adat, pemuda, dan komunitas nelayan bersatu mendukung perjuangan ini.
Karena ketika laut dijaga dengan keberpihakan, maka masa depan Maluku akan tumbuh dari dermaga keadilan dan gelombang harapan.
Berikut ini adalah pandangan saya yang tidak saja mengukur konsistensi, keberpihakan ekologi dan ekologi, tetapi juga hendak menakar keadilan bagi Maluku yang luas lautnya 92 persen.
Kita semua sudah memahami bahwa dari luas wilayah laut yang demikian besar tersebut kemudian dibagi ke dalam 3 wilayah pengelolaan (WPP) yaitu WPP 714 meliputi laut Banda, 715 meliputi Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera dan Laut Seram dan WPP 718 meliputi laut Arafura dan Timor.
Dari kekayaan yang terkandung di dalam rahim yang bernama laut inilah, maka potensi produksi perikanan tangkapnya dapat mencapai 4,6 hingga 7,4 juta ton per tahun, yang berarti potensi kontribusi Maluku dapat mencapai 30 persen dari total potensi nasional.
Jika nilai ekonomis seluruh komoditas perikanan Maluku yang diperkirakan mencapai Rp117 triliun lebih per tahun, itu bukan suatu angka tak bertuan. Angka ini mencerminkan nilai maksimal dari potensi produksi ikan, terutama karena Maluku memiliki komoditas unggulan seperti tuna sirip kuning (yellowfin tuna), yang kualitasnya sangat kompetitif di pasar ekspor internasional, belum lagi kita berbicara tentang potensi perikanan dimersal bernilai ekonomis sangat penting terutama ikan kerapu, kakap dan udang-udangan.
Dari estimasi potensi produksi tersebut maka bukan rahasia lagi bahwa kapasitas ekonomi Maluku dari sektor kelautan ini saja dapat mencapai kurang lebih Rp117 triliun yang merupakan efek berganda dari pengolahan, logistik, dan fiskal, tetapi penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) Maluku sangatlah tidak layak alias terlalu kecil. Hal ini tercermin dari PAD Maluku dari sektor kelautan dan perikanan yang tidak lebih dari Rp7 triliun.
PIT dan filsafat pribumi dan ekologi sipiritual
Penangkapan Ikan Terukur (PIT) hadir sebagai kebijakan strategis dalam pengelolaan sumber daya perikanan Indonesia. Ia berakar pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur dan dijabarkan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2023.
Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga keberlanjutan stok ikan, meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), serta mendorong pemerataan industri perikanan ke wilayah timur Indonesia.
Melalui pendekatan output control, pemerintah menetapkan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), dan mewajibkan pelaku usaha untuk mendaratkan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan yang telah ditentukan.
Sistem digital e-PIT digunakan untuk memantau pergerakan kapal, volume tangkapan, dan kepatuhan terhadap zona operasi. Aspek fiskal dari kebijakan ini diperkuat melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 81 Tahun 2021, yang menetapkan besaran nilai faktor E dalam perhitungan tarif PNBP.
Artinya, pungutan negara atas hasil tangkapan kini lebih terukur dan berbasis volume aktual, bukan estimasi awal. Ini menjadi instrumen penting dalam menjamin transparansi dan efisiensi fiskal sektor perikanan.
Namun, kebijakan ini menyisakan pertanyaan besar bagi daerah kepulauan seperti Maluku, yang 92,4 persen wilayahnya adalah laut.
Alih muat langsung (transhipment) dari laut tanpa pendaratan di pelabuhan lokal menyebabkan Maluku kehilangan data tangkapan artinya kita punya wilayah yang namanya Laut Maluku, Laut Banda, Laut Arafura, Laut Seram, tetapi sumberdaya laut yang diambil dari kandungannya itu kita tidak mengetahuinya.
Alhasil dari kebijakan yang tidak adil ini pasti menimbulkan Maluku kehilangan potensi ekonomi, begitu juga kendali pengawasan.
Selain itu pelabuhan tidak berkembang, cold storage tidak dibangun, dan layanan logistik tidak tumbuh. Dampak ekonomi yang seharusnya mengalir ke masyarakat lokal justru menguap ke luar wilayah.
Sosialisasi yang minim membuat mayoritas nelayan tradisional tidak memahami esensi PIT, apalagi bagaimana mereka bisa terlibat secara aktif.
Laut bagi masyarakat Maluku bukan sekadar sumber daya, tetapi ruang hidup, budaya, dan spiritualitas. Ketika laut dikelola sepenuhnya oleh investor luar melalui skema kuota industri, relasi manusia dan laut menjadi terdistorsi. Secara ekologis, PIT belum sepenuhnya mengintegrasikan perlindungan terhadap musim pemijahan (Spawning season) dan ukuran minimum ikan (minimum size limit).
Kuota hanya berbicara tentang berapa banyak yang boleh ditangkap, bukan kapan dan apa yang seharusnya dilindungi. Tanpa perlindungan terhadap siklus reproduksi, eksploitasi terhadap ikan yang masih muda (juvenile) berisiko meningkat, merusak regenerasi alamiah dan mengancam keberlanjutan jangka panjang.
Praktik transhipment juga mengaburkan asal-usul tangkapan, sehingga akuntabilitas ekologis dan ekonomi menjadi sulit dilacak. Infrastruktur pelabuhan di zona timur Indonesia memang belum siap menampung dampak dari PIT, namun itu bukan alasan untuk mengambil keuntungan terlebih dahulu dengan janji untuk membangun infrastruktur lokal. Ini namanya model extractivism.
Dalam filsafat pribumi dan ekologi spiritual, alam bukan sekadar sumber daya, melainkan bagian dari kehidupan dan identitas, dengan begitu pengambilan sumber daya tanpa penghormatan terhadap nilai-nilai lokal dapat dipandang sebagai bentuk dehumanisasi dan desakralisasi alam laut Maluku.
Maluku berhak atas keadilan untuk sejahtera
Maluku memiliki hak yang sama dengan saudaranya di Indonesia bagian Barat untuk memperoleh kue pembangunan secara adil dan merata melalui investasi besar untuk bangun pelabuhan lokal agar dapat berfungsi maksimal sebagai titik pendaratan, pengolahan, dan distribusi.
Literasi digital nelayan dan petugas daerah juga masih menjadi tantangan. Sistem e-PIT membutuhkan pendampingan agar tidak menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha kecil. Ketimpangan dalam akses izin penangkapan perlu diwaspadai. Ketika kuota hanya diberikan kepada pelaku industri besar, nelayan kecil akan tersisih dari sistem formal dan terpaksa beroperasi di bawah radar.
Maluku dan daerah kepulauan lainnya memerlukan pendekatan ekoregional dalam kebijakan PIT. Wilayah dengan karakteristik ekologis dan sosial tertentu tidak bisa diperlakukan sama dengan daerah berbasis kontinental. Kebijakan PIT perlu menyediakan kuota komunitas yang dikelola bersama oleh masyarakat adat, nelayan lokal, dan pemerintah daerah. Ini penting untuk menjamin keadilan, keberlanjutan, dan rasa memiliki terhadap laut.
Pembangunan infrastruktur pelabuhan, cold storage, dan pengolahan hasil tangkapan di wilayah timur harus dipercepat. Tanpa itu, PIT hanya akan menjadi alat eksploitasi yang melintasi daerah tanpa meninggalkan manfaat. Skema insentif bagi pelaku usaha yang mendaratkan hasil di pelabuhan lokal perlu dirancang. Ini akan menciptakan efek ekonomi berganda dan membuka lapangan kerja baru di daerah.
Mari kita lihat bersama DBH dari kepulauan Aru yang diperoleh dari pendapatan hasil perikanan sebelum penerapan PIT dari Pemerintah Provinsi dan Pusat yang mana hasilnya dapat mencapai Rp40 miliar lebih/tahun, namun setelah adanya PIT tinggal Rp500 juta/tahun (Siwalimanews.com, 27 Mei 2025).
Hal ini sangat bertentangan dengan pernyataan humas KKP yang menyatakan bahwa PIT dimaksudkan untuk kemakmuran rakyat. Sampai hari ini Kabupaten Kepulauan Aru adalah salah satu yang termiskin di Indonesia. Jadi kemakmuran rakyat mana yang dimaksudkan oleh KKP sebagai pemerintah yang mengurus laut kita?.
Ini sangat tidak adil. Oleh sebab itu pendekatan holistik berbasis ilmu kelautan yang komprehensif, sosial, dan kearifan lokal menjadi kunci perbaikan. Kolaborasi antara akademisi, pemerintah daerah, dan komunitas pesisir perlu diperkuat. PIT dapat menjadi kebijakan strategis jika dirancang inklusif dan partisipatif, bukan hanya untuk menjaga stok ikan, tetapi juga membangun masa depan pesisir yang adil dan berdaya.
Negara kepulauan seperti Indonesia tak bisa hanya mengukur laut dengan angka kuota. Ia harus dilihat sebagai lanskap budaya, ekosistem kehidupan, dan warisan generasi.
Jika PIT mampu menjembatani industri dan masyarakat, maka laut Indonesia akan tetap menjadi sumber pangan, ruang hidup, dan tempat kita memelihara martabat bangsa.
Dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2023, serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 81 Tahun 2021, kita memiliki dasar hukum yang kuat untuk menuntut implementasi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Namun, hukum bukan sekadar teks, ia harus hidup dalam praktik yang berpihak pada masyarakat pesisir dan ekosistem laut. PIT harus menjadi kebijakan yang tidak hanya mengatur penangkapan ikan, tetapi juga merawat peradaban bahari Indonesia. Selamat bekerja Pa Gubernur, kami siap bergandengan tangan wujudkan visi bersama. Lawamena haulala.
Penulis merupakan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, Program Studi Budidaya Perairan. Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) PEMASKEBAR