Ambon (ANTARA) - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku mengamankan 10 meter kubik kayu belo yang dokumennya tak sesuai, di Pelabuhan Tol Laut Hattu Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat, sebagai langkah tegas dalam upaya penegakan tata kelola hutan yang transparan.
“Pengamanan dilakukan oleh petugas Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Seram Bagian Barat, setelah mendapati adanya dugaan ketidaksesuaian antara jenis kayu yang diangkut dan dokumen resmi,” kata Juru Bicara Pemprov Maluku Kasrul Selang, di Ambon, Rabu (30/7).
Dia menjelaskan, dalam dokumen disebutkan jenis kayu sebagai rimba campuran, namun hasil verifikasi sistem informasi penataan hutan nasional menunjukkan bahwa kayu tersebut adalah belo, jenis kayu keras bernilai ekonomi tinggi.
"Jenis kayu belo memiliki tarif PNBP sebesar Rp1 juta per meter kubik, sedangkan rimba campuran hanya Rp300 ribu. Ini bukan sekadar soal angka, tapi soal keadilan dan ketertiban dalam pengelolaan sumber daya alam," ujarnya.
Kayu tersebut saat ini diamankan di Kantor KPH SBB untuk keperluan verifikasi lanjutan. Pihak pemilik muatan juga dimintai keterangan, bersama sejumlah pihak terkait.
Berkaitan dengan hal itu, guna memperkuat sosialisasi dan penegakan standar operasional prosedur (SOP) baru di seluruh pelabuhan, termasuk pelabuhan kecil, Pemprov Maluku juga segera memanggil Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP).
Fokusnya bukan hanya pada pengawasan over dimensi dan over load (ODOL), tetapi juga validitas dokumen perizinan dan pembayaran pajak.
“Pemerintah mendukung investasi, tapi tidak dengan mengorbankan lingkungan. Prinsip kami: ramah lingkungan, serap tenaga lokal, dan berkontribusi nyata bagi daerah,” ujar Kasrul menegaskan.
Dia melanjutkan, saat ini sistem penataan hutan nasional telah mengadopsi skema self-assessment dengan dokumen angkut kayu diterbitkan langsung oleh pemilik izin melalui sistem daring milik Kementerian Kehutanan.
Peran Dinas Kehutanan daerah kini berfokus pada pengawasan dan pelaporan temuan ke Balai Pemantauan Hutan Produksi (BPHP) sebagai UPT pusat.
Kepala Dinas Kehutanan Maluku Haikal Baadilah menambahkan bahwa sejumlah industri telah diblokir aksesnya, karena penyalahgunaan sistem. Saat ini, sedikitnya lima industri sedang dalam evaluasi menyeluruh.
Pemerintah masih mendalami apakah pelanggaran ini masuk kategori pidana kehutanan atau administratif.
“Jika ditemukan unsur pidana, kami akan ambil langkah hukum, termasuk pencabutan izin,” kata Haikal.
Langkah ini menjadi bagian dari komitmen Pemprov Maluku dalam membenahi tata kelola kehutanan, meningkatkan pendapatan negara dan daerah, serta menjaga kelestarian hutan dari praktik manipulatif berkedok investasi.
