Menjadi seorang perempuan yang tangguh adalah berani bicara tentang hak-haknya, punya kemauan belajar, dan kritis dalam berpikir juga menganalisis setiap persoalan di dalam masyarakat.
Adalah Elizabeth Christina Marantika atau akrab disapa Lies, perempuan kelahiran Leti, Maluku Barat Daya pada 10 Oktober, 62 tahun lalu. Sekilas ia tampak seperti perempuan pada umumnya, tetapi tidak demikian.
Sosoknya yang kecil dan bersuara lembut seolah menutupi sepak terjangnya yang sudah malang-melintang selama lebih dari 20 tahun dalam isu-isu antara agama, perdamaian dan Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan di berbagai wilayah di Indonesia, dan hal itu menjadi "passion" seumur hidupnya.
Lahir di pulau kecil di ujung Maluku yang berbatasan dengan Timor Leste, Lies yang merupakan putri seorang guru, tercatat pernah menjadi Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan periode 1998-2006, dan Pelapor Khusus untuk pemantauan pelanggaran HAM perempuan dalam konflik Poso, Sulawesi Tengah pada 2005-2007.
Keterlibatannya di Komnas Perempuan adalah usulan dari aktivis HAM dan demokrasi Indonesia, Asmara Nababa yang kala itu menjabat sebagai Komisioner Komnas HAM.
Usai dari Komnas Perempuan, Lies kembali ke Maluku dan mulai membangun Yayasan Gasira pada 2007, bersama beberapa aktivis perempuan lainnya. Lembaga tersebut berkonsentrasi pada kajian dan advokasi HAM perempuan.
Saat ini Yayasan Gasira yang dipimpinnya, masih menjadi satu-satunya lembaga kemanusiaan di Ambon yang menyediakan Rumah Aman bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
Tak cukup sampai di situ, tahun 2009 Lies melanjutkan kampanye dan advokasi dengan menggagas Kongres Perempuan Maluku I, di mana ia menjadi ketua panitianya. Pertemuan itu merupakan gerakan masif pertama para aktivis dan feminis di Maluku.
"Itu pengalaman yang sangat luar biasa, kongresnya melibatkan lebih dari 1.000 orang dari berbagai lapisan gerakan perempuan, baik yang ada di birokrasi, politik, pers dan masyarakat sipil di Maluku," kata istri dari Pdt. Dicky Mailoa itu.
Menurut dia, setiap orang memiliki kisah dan pengalamannya masing-masing, tidak terkecuali perempuan. Sekecil apapun itu, pengalaman adalah pengetahuan pertama yang didapat dan bisa dibagikan kepada sesama.
Seorang perempuan tangguh adalah yang berani mengekspresikan dirinya, tidak takut menyuarakan haknya, punya kemauan belajar, kritis dan mampu berbagi pengetahuan dalam berbagai kesempatan.
"Speak out-lah karena pegalaman perempuan itu kaya. Pengalaman dalam rumah tangga adalah pengetahuan tentang hidup dan macam-macam. Penting bagi perempuan untuk berani mengekspresikan dirinya," kata Lies.
Sesungguhnya sepak terjang Lies dengan isu antar agama, perdamaian dan HAM perempuan sudah dimulai sejak ia lulus strata-1 (S1) bidang Islamologi di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta pada 1975, dan aktif ketika bertugas sebagai pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM).
Di lingkungan gereja selama dua kali Pemilihan Umum (Pemilu) sebelum tahun 1999, Lies bergerak dalam "Voter Aducation" bagi perempuan, yang diakses dari Badan Program Pembangunan PBB (United Nations Develompment Programme - UNDP).
Ibu dari Genna Mailoa, bersama timnya sukses mendapatkan nilai A untuk program demokrasi yang dijalankan dari Sabang sampai Merauke.
Lies yang menyelesaikan pendidikan S2 dan S3 di bidang Islamologi melalui program The South East ASIA Graduated School of Theology dan Hamburg University pada 1996, aktif di Indonesian Conference on Religon and Peace (ICRP) sekitar awal hingga akhir tahun 1990an.
Saat konflik Mei 1998 terjadi, ia tetap bertahan di Jakarta dan terlibat dalam kampanye-kampanye perdamaian, tapi kemudian memutuskan kembali pulang ketika konflik horisontal pecah di Maluku pada 1999.
Selama periode konflik, Lies terlibat dalam berbagai organisasi masyarakat sipil untuk mendorong isu perdamaian antar agama dan HAM perempuan.
Saat ini selain menjabat sebagai Direktur Yayasan Gasira, Lies adalah pengajar pada program pasca sarjana di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, juga Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN) Ambon.
Ia mengajar perbandingan dan sosiologi agama serta isu-isu kontemporer lainnya, termasuk persoalan yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan dalam agama.
"Salah satu yang belum tercapai adalah membangun kepemimpinan untuk isu perempuan dan anak di Maluku. Bukan hanya mendorong pemimpin perempuan tapi kepemimpinan untuk isu HAM perempuan punya kemampuan memahami problematika dan analisa agar bisa secara strategis meletakan isu itu dalam pembangunan daerah," ujarnya.