Ambon (ANTARA) - Aktivis perempuan dan anak asal Kota Ambon, Lies Marantika menilai tekanan emosional yang harus dihadapi oleh masyarakat akibat masalah ekonomi dan perubahan aktivitas selama pandemi COVID-19 mendorong terjadinya Kekesaran Dalam Rumah Tangga (KDRT).
"Saat pandemi COVID-19 orang-orang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, sehingga persoalan ekonomi dan semua hal yang serba terbatas memberikan tekanan emosional yang tinggi. Ini juga bisa mendorong terjadinya KDRT," katanya, di Ambon, Selasa.
Lies Marantika merupakan mantan komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan periode 1998-2006, dan Pelapor Khusus untuk pemantauan pelanggaran HAM perempuan dalam konflik Poso, Sulawesi Tengah pada 2005-2007.
Saat ini ia bekerja sebagai direktur Yayasan Gasira Maluku, lembaga yang khusus menangani kasus kekerasan perempuan dan anak. Yayasan Gasira masih menjadi satu-satunya lembaga di Maluku yang menyediakan rumah aman bagi perempuan dan anak korban kekerasan
Lies mengatakan pandemi COVID-19 memberikan banyak dampak pada kehidupan masyarakat, tidak terkecuali tekanan emosional, terutama mereka yang berada di kelas menengah ke bawah, di mana hal ini masih luput dari perhatian pemerintah.
Tekanan emosional yang didorong oleh persoalan ekonomi dan pembatasan aktivitas masyarakat mendorong terjadinya KDRT, baik oleh suami kepada istri, begitupun sebaliknya, begitu pun kekerasan orang tua kepada anaknya.
"Tidak bisa dipungkiri dampaknya selalu ada, kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat memberikan pengaruh besar pada tekanan emosional dan berakibat pada keluarganya. Ini yang ternyata masih luput dari perhatian pemerintah kita," katanya.
Menurut pengamatan Lies, KDRT yang dilakukan oleh orang tua kepada anak selama masa pandemi COVID-19 didorong oleh pola pengasuhan anak yang berubah sejak sekolah daring mulai diberlakukan.
Tidak hanya menemani anak belajar dari rumah, orang tua dipaksa untuk lebih perhatian terhadap urusan sekolah anak-anak mereka dan kembali belajar seperti seorang siswa, agar bisa mengajari anak mereka sendiri.
Kendati perbedaan proses pendidikan dan kurikulum yang diterima orang tua dan anak-anaknya berbeda, persoalan tersebut masih bisa tertangani dengan baik apabila anak yang harus diperhatikan hanya satu atau dua orang.
"Orang tua jadi seperti dipaksa kembali ke bangku sekolah yang sudah lama mereka tinggalkan, jika tidak sabar mereka cenderung akan marah dan melakukan kekerasan terhadap anaknya sendiri," tandas Lies Marantika.