Ambon (ANTARA) -
Wakajati Maluku, Undang Magopol menegaskan, rendahnya tingkat pendidikan para kepala desa (kades) menjadi faktor yang mempengaruhi terjadinya penyelewengan dalam pengelolaan dana desa(DD).
"Hampir 60 persen para Kades tingkat pendidikan rendah, bahkan ada yang tidak lulus sekolah dasar, selanjutnya uang dialokasikan dalam jumlah miliaran membuatnya menjadi bingung," katanya, di Ambon, Kamis.
Penegasan Wakajati disampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi I dan Komisi IV DPRD Maluku tentang persoalan pengelolaan DD dan dampaknya terhadap pembangunan desa.
Dalam rapat kerja yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Maluku, Melkianus Sairdekut tersebut, hadir juga Dirreskrimsus Polda Maluku, Inspektorat Provinsi Maluku , serta Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Setda Maluku.
Wakajati juga mengakui pernah dikaryakan Kejaksaan Agung ke Kemndes PDT dan menjadi Kepala Biro Hukum selama dua tahun, sehingga dirinya mengetahui pasti kondisi seperti ini.
Menurut dia, dengan tingkat pendidikan yang rendah tentunya Kades akan bingung membaca aturan dari Kemendes PDT atau pun Kemendagri, sehingga terkadang terjadi penyimpangan akibat ketidak-mampuannya melihat peraturan serta cara pengelolaan keuangan yang baik.
"Menyadari situasi ini, Kemendes waktu itu melihat kalau terus dibiarkan maka terjadi banyak penyimpangan, sehingga dibuat MoU antara Kemendaagri, Kemendes PDT, Baharkam Mabes Polri, bersama Kejaksaan Agung," ujarnya.
Kalau Kades ditindak maka penjara bisa penuh, karena sebagai contoh DD dipakai bangun jalan desa lalu disandingkan kualitasnya dengan pengerjaan jalan melalui proses lelang.
Karena DD itu untuk pemberdayaan masyarakat desa, lalu dengan jumlah terbatas membangun jalan desa tentunya mengutamakan orang desa itu sendiri, terutama para pengangguran sehingga tidak melihat kemampuan dan keahlian mereka
Untuk DD memang dimulai pada 2015 sampai tahun ini alokasi anggarannya selalu meningkat.
Misalnya pada 2019 dialokasikan DD sebesar Rp20 triliun, 2016 Rp40 triliun, 2017 Rp60 triliun, 2018 Rp60, 2019 Rp70 dan 2020 Rp72 triliun, kemudian 2021 RAPBN naik Rp74 triliun disebar ke desa-desa.
"Waktu di Kementerian juga terlihat memang betul ada penyimpangan dalam pengelolaannya, dan hal ini tidak saja menyangkut peristiwa atau perbuatan pidana tetapi dipengaruhi oleh kemampuan para Kades untuk mengelola keuangan," kata Wakajati.
Sedangkan Wakil Ketua DPRD Maluku, Melkianus Sairdekut mengatakan, pada intinya gelisah soal penggunaan DD, sebab lima tahun terakhir dikucurkan dari pemerintah pusat tetapi perbaikan desa-desa juga tidak signifikan karena sepertinya tidak berbanding lurus dengan alokasi anggaran yang diberikan.
"Karena itu rapat ini menjadi penting untuk kita bisa mendengarkan jalan keluar yang harus ditempuh supaya semua menjadi lebih baik," tandasnya.
Tidak dipungkiri di tingkat desa dan kabupaten menganggap ini menjadi sebuah kewenangan sebagai tanggungjawab mereka, tetapi tidak salah di provinsi juga mendiskusikannya secara bersama untuk pembangunan Maluku ke depan.