Ambon (ANTARA) -
Wakil Ketua DPRD Maluku, Efendy Latucinsina merespon adanya keinginan 1.900 lebih warga Negeri Pelauw, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah yang ingin kembali dan hidup berdamai setelah konflik internal sesama warga sejak 10 tahun lalu.
"Permintaan warga yang mengungsi pasti beta (saya) akan respon dan mari bergandengan tangan untuk menyelesaikan masalah ini dan beramai-ramai pulang kembali ke Pelauw," kata Efendy di Ambon, Senin.
Penegasan Efendy disampaikan dalam rapat dengar pendapat antara pimpinan DPRD dan fraksi, serta pimpinan dan anggota komisi I bersama perwakilan warga pengungsi Pelauw.
Dia juga mengakui beberapa waktu lalu sudah ada pertemuan, tetapi untuk pertemuan lebih lanjut diharapkan lewat forum resmi seperti yang berlangsung saat ini.
"Saya mau warga menyurati DPRD Provinsi Maluku secara resmi seperti hari ini karena lebih efektif dan baik, di mana semuanya bisa menyampaikan aspirasinya," katanya dalam Raker yang dipimpin Ketua DPRD Maluku, Lucky Wattimury.
Menurut Efendy yang juga Raja (Kades) Pelauw, sesulit apa pun pasti ada jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan internal sesama warga Negeri Pelauw, dan terpenting ada niat untuk menyelesaikannya secara tuntas.
Dia juga meminta warganya untuk menjaga ketertiban dan keamanan menjelang perayaan hari-hari besar keagamaan, seperti Natal 2021 dan Tahun Baru 2022.
"Percayalah, pasti ada jalan keluarnya dan siapa bilang tidak ada, dan saya minta teman-teman DPRD saling bergandengan tangan untuk menyelesaikan persoalan ini," tegas Efendy.
Ketua DPRD Maluku, Lucky Wattimury mengatakan, masalah keamanan di sisi yang lain, kemudian persoalan lainnya yang harus diselesaikan berdasarkan hasil pemetaan, jangan sampai diborong semuanya tanpa dilakukan pemetaan yang baik sehingga bisa membias.
"Tetapi yang harus diutamakan sesuai usulan Wakil Ketua DPRD Maluku Asis Sangkala adalah terciptanya sebuah perdamaian di Pelauw dan DPRD akan mengambil langkah sesuai fungsi dewan," ujarnya.
Ketua Komisi I, Amir Rumra mengakui kaget dengan aspirasi mereka yang sudah 10 tahun tidak diselesaikan sebab saat itu dirinya belum menjadi anggota DPRD Provinsi Maluku.
"Bukannya kita berpihak kepada mereka, tetapi diharapkan aspirasi para pengungsi ini diperhatikan, dan kita harus memperhatikan hak-hak mereka sebagai pengungsi, sebab selama ini tidak mendapat perhatian pemerintah provinsi (Pemprov) Maluku maupun Pemkab maluku Tengah," katanya.
Sedangkan, Ketua F-PDIP DPRD Maluku, Benhur Watubun mengatakan, bila persoalan masyarakat sampai di bawah ke lembaga legislatif, maka itu adalah masalah rakyat Maluku dan bukan lagi urusan antara masyarakat Pelauw di muka atau belakang.
"Yang kita lakukan ini dijamin oleh UUD 1945 pasal 18 B yang menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat yang sifatnya secara tradisi dapat diakui sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila," tegas Benhur.
Fraksi juga menyetujui seluruh pendapat anggota dan pimpian dewan yang akan memanggil pihak-pihak terkait seperti Gubernur Maluku, Miurad Ismail, Bupati Maluku Tengah, Abua Tuasikal dan alat-alat negara untuk penyelesaian konflik warga Pelauw. Sebab negara bertugas mengembalikan orang-orang pada tempatnya.
Rekomendasi Komnas HAM
Ketua umum Angkatan Muda Hatuhaha Waelapia Pelauw, Erdy Tualepe mengatakan, masyarakat Uli Hatuhaha ini adalah satu rahim (Manikamu) atau memiliki pertalian genealogis dan merupakan salah satu nilai kearifan lokal.
Dijelaskankan, konflik tahun 2011 itu ada korban meninggal dunia empat orang dan pada tahun 2012 merupakan klimaks dari insiden Pelauw dan korban jiwa berjatuhan pada dua belah pihak dan tidak ada proses hukum sama sekali dan terkesan ada proses pembiaran.
Kemudian dari 1.121 jiwa yang mengungsi dari Pelauw, tidak ada satu pun unsur pemerintah yang datang memberikan trauma hiling, sebab anak-anak dan ibu-ibu yang paling terdampak dari konflik tersebut sehingga generasi ini dibiarkan tumbuh dengan pemikiran kekerasan.
Selain mengungsi ke Negeri Rohomini akibat konflik, masyarakat kembali mengungsi ke hutan akibat bencana alam berupa gempa bumi tektonik yang beruntun sejak 26 Oktober 2019.
Pada 2019, Komnas HAM RI juga melakukan pendampingan terhadap konflik Pelauw dan mengeluarkan rekomendasi yang mencakup empat lembaga yakni Kapolri, Mendari, Ketua DPR RI, Menteri Agama, namun sama sekali tidak ada yang melaksanakan rekomendasi ini.
Salah satu poin rekomendasi ini adalah kepada Ketua DPR RI agar mendukung dan menyelesaikan konflik sosial di Negeri Pelauw antara orang muka dan orang belakang.
Kemudian Mendagri agar proaktif mengupayakan penyelesaian konflik sosial di Pelauw, dan Menteri Agama agar melakukan pembinaan pembinaan dan bimbingan untuk menciptakan kerukunan beragama dan toleransi dalam kegiatan beragama, serta mencegah konflik sosial akibat perbedaan dalam menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan, khususnya di Negeri Pelauw.
"Rekomendasi ini sudah jelas namun pemerintah menutup mata dan membiarkannya selama sepuluh tahun," katanya.
8 oktober 2020 Angkatan Muda Hatuhaha Walapia menemui Wakil Ketua DPRD Maluku, Efendy Latuconsina dan beberapa waku kemudian dilakukan lagi pertemuan.