Ambon (ANTARA) - Perayaan 7 Syawal atau hari ke-7 Lebaran Idul Fitri, bagi warga Negeri Morella diwarnai dengan atraksi pukul sapu lidi.
Raja (Upu) Negeri Morella, Fadil Sialana di Morella, Senin (9/5) tradisi tersebur dalam bahasa setempat disebut 'Palasa' atau 'Baku Pukul Manyapu' yang artinya saling memukul dengan sapu lidi.
Ia mengatakan, acara sapu lidi atau biasa dikenal sebagai tradisi palasa, ini adalah menunjukkan ekspresi semangat para leluhur di benteng Kapahaha atau benteng pertahanan, sebagai pernyataan diri atas semangat leluhur.
“Tradisi pukul sapu lidi ini Mencerminkan tolong menolong, gotong royong, rela berkorban, kerja keras,kerja sama, dan sifat kesatria,” kata Raja Negeri Morella, Fadil Sialana.
Ia menyebutkan, dalam bahasa kapata yang diindonesiakan, ini adalah gerakan dukungan persatuan dalam satu ikatan keluarga atau menjalin persaudaraan.
“Tradisi ini tidak bisa lagi dimakanai sebagai tradisi tahunan, namun lebih dari itu semangat perjuangan mesti didorong demi mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Baca juga: Ribuan Warga Ikut Meriahkan Kirab Budaya di Negeri Morella, pertahankan tradisi
Fadil berharap kepada pemerintah, untuk sama-sama mengimplementasikan semangat kapahaha dalam bentuk melestarikan lingkungan, edukasi, dan kegiatan lainnya yang positif terhadap generasi muda di Maluku.
“Momentum ini adalah cara mengenalkan budaya dan merawat silaturahmi antar generasi muda. Hari ini kita dapat menyaksikan semangat peringatan pukul sapu berkontribusi yang positif bagi lingkungan. Sebagai manusia kita mesti saling dorong,” tuturnya.
Selain itu, Wakil Bupati Maluku tengah, Marlatu Leleury, mewakili Bipayi Maluku tengah, mengatakan, sangat mengapresiasi kegiatan ini, karena di samping sebagai momentum kemeriahan hari keagamaan serta pelestarian nilai-nilai sejarah, kegiatan Pukul Sapu yang diselenggarakan setiap tanggal 7 Syawal, juga telah menjadi media untuk memperkenalkan potensi adat dan budaya yang sungguh beragam di Maluku, Bumi Para Raja-Raja.
“Perayaan ini membawa setiap warga bangsa ini kepada kesadaran akan pentingnya pelestarian nilai-nilai budaya sebagai warisan leluhur nenek moyang Maluku yang dalam perkembangannya telah menambah dan memperkaya khasanah budaya bangsa,” ucapnya.
Baca juga: Begini cara warga Muslim Negeri Hitu Lama Maluku Tengah gelar tradisi 7 Syawal
Ia mengaku, acara adat pukul sapu yang diselenggarakan pada hari ini, baginya memiliki keunikan tersendiri, selain karena merupakan tradisi masyarakat di Negeri Morela pada setiap tanggal 7 Syawal, acara pukul sapu ini juga menjadi suatu pagelaran yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Maluku, termasuk wisatawan lokal dan manca negara.
“Sekali lagi saya menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas digelarnya kembali acara adat ini. Mudah-mudahan, melalui kegiatan ini, dapat menjadikan kita sebagai generasi yang tidak akan pernah melupakan sejarah, tradisi dan budaya,” kata Marlatu.
Ia mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk senantiasa membangkitkan semangat keIndonesiaan dengan sebaik-baiknya, mengokohkan persatuan dan kesatuan, serta mempererat jalinan tali silaturahim, baik di antara sesama masyarakat negeri maupun dengan negeri-negeri lainnya.
“Mari terus berkomitmen untuk mendorong masyarakat dalam menumbuhkembangkan tatanan adat di setiap negeri, sehingga tatanan tersebut dapat manjadi karakter dan jati diri, demi pengembangan nilai-nilai kearifan lokal,” pungkasnya.
Karnaval budaya ini, juga turut dimeriahkan oleh sejumlah pentas seni yakni, perahu yala, hadrat, tari reti, cakalele, tari manuhuai, bambu gila, tari lisa, tari saliwangi, toki gaba-gaba, karnaval obor kapahaha dan diakhiri dengan pukul sapu itu sendiri.
Turut hadir dalam acara tersebut Sekertaris daerah bersama isteri, serta sejumlah pejabat lainnya, dan ribuan masyarakat yang datang untuk menyaksikan atraksi pukul sapu lidi ini.
Tradisi ini sudah menjadi tradisi turun temurun sejak tahun 1646, yang dilaksanakan setiap tujuh hari setelah Lebaran.
Pada pelaksanaannya, para peserta yang merupakan pemuda Morella dibagi dalam dua kelompok atau regu. Tiap regunya berjumlah minimal 10 orang dengan memakai celana pendek, bertelanjang dada, serta memakai pengikat kepala merah atau biasa disebut dengan "kain berang".
Sebelum para pemuda ini masuk arena pukul sapu, mereka menjalani ritual adat di baileo (rumah adat) oleh tua-tua adat.
Baca juga: Tradisi pedagang Beras Fitrah kemasan 3kg disepanjang jalan di Kota Ambon jelang Lebaran