Ambon (Antara Maluku) - Aktivitas penambangan emas tanpa izin (Peti) oleh masyarakat di Pulau Buru selama ini ternyata sangat merugikan keluarga Ibrahim Wael selaku pengusaha ketel penyulingan minyak kayu putih sejak tahun 1964.
"Kami memiliki izin resmi dan membuka usaha ketel penyulingan di kawasan Gunung Botak, Wamsaid dan kawasan sungai Anhoni, tapi aktivitas penambangan telah menyebabkan bisnis kami itu macet, bahkan lahan kami diserobot," kata Ibrahim Wael di Ambon, Senin.
Menurut dia, sejak logam mulia ditemukan di Pulau Buru pada awal 2011, seorang warga Kabupaten Buru bernama Amos Besan memberitahukan kerabat maupun masyarakat lain untuk melakukan pendulangan emas.
Ibrahim Wael menyatakan, Amos Besan menyatakan kepada setiap orang kalau lahan tambang di kawasan Gunung Botak, Wamsaid maupun bantaran sungai Anhoni adalah petuanan mereka dan merupakan peninggalan Kapitan Bamang Tousia bagi anak-cucu.
Saat itu, katanya, warga yang datang ke Pulau Buru masih terbatas jumlahnya, tidak seperti belakangan ini yang mencapai 30.000 penambang.
"Ketika para penambang mulai berdatangan, kami sempat mengklaim kepemilikan lahan tersebut sehingga aktivitas penambangannya sempat terhenti," kata Ibrahim Wael.
Namun, hal itu tidak bertahan lama setelah mantan Bupati Husnie Hentihu menyatakan bahwa keberadaan tambang emas membuka peluang bagi masyarakat setempat untuk menjadikannya sumber pencaharian sementara.
"Hentihu menyatakan hal tersebut saat menghadiri acara panen raya di Mako yang dihadiri para kepala desa, tokoh adat serta tokoh masyarakat," katanya.
"Pernyataan Hentihu itulah yang membuat para pendulang dari berbagai daerah terus berdatangan ke Pulau Buru," tambahnya.
Catatan ANTARA, setelah masa jabatan Hentihu sebagai bupati berakhir dan digantikan Ramly Umasugy, Pemkab Buru sudah enam kali melakukan penertiban dan melarang aktivitas penambangan, namun sampai sekargan masih ada yang menjual karcis masuk ke lokasi penggalian seharga Rp250.000.