Ambon (Antara Maluku) - DPRD Provinsi Maluku mensinyalir adanya permainan oknum tertentu di PT. Bank Maluku untuk menggelembungkan (mark up) anggaran pembelian gedung kantor cabang baru di Surabaya (Jatim) hingga mencapai Rp54 miliar.
"Untuk membuktikan sinyalemen ini, kami telah melakukan rapat badan musyawarah (Bamus) DPRD dan sepakat membentuk panitia khusus (Pansus) PT.BM," kata kata Ketua DPRD Maluku Edwin Adrian Huwae di Ambon, Rabu.
Dalam rapat, kata dia, hampir seluruh anggota dari fraksi-fraksi sepakat membentuk pansus karena sinyalemen mark up anggaran itu sudah menjadi perhatian publik sehingga menjadi atensi DPRD untuk ditelusuri.
Selain persoalan anggaran pembelian kantor cabang di Surabaya, masalah lain di BUMD Pemprov Maluku itu juga akan ditelusuri.
Menurut Edwin, tugas pansus mengungkap sejauh mana dampak dari persoalan yang melilit PT. BM berkaitan dengan repo saham yang mengakibatkan kerugian Rp262 miliar dan dugaan mark up pembelian kantor cabang.
"Khusus untuk dugaan pembelian kantor cabang, informasi yang didapat oleh bamus bahwa antara harga pembelian dengan realitas terjadi selisih yang begitu besar," ujarnya.
Sebab dari satu sisi, pembelian gedung kantor baru seberapa urgent untuk PT. BM, itu yang legislatif ingin tahu kenapa mesti menggelontorkan sekian banyak uang miliaran rupiah untuk kepentingan pembangunan kantor cabang.
"Padahal dalam situasi faktual, menurut kami di DPRD belum merupakan suatu kepentingan mendesak PT. BM miliki kantor cabang di Surabaya," tegasnya.
Di sisi yang lain, baru saja terjadi kerugian cukup besar dana operasional PT. BM berkaitan dengan repo saham, tiba-tiba mau buka cabang.
Selain itu sesuai peraturan BI mestinya sebuah bank dengan omzet Rp1 triliun sebenarnya cuma punya kewenangan buka kantor cabang sampai level pembiayaan Rp8 miliar, tetapi anehnya bisa dikeluarkan uang PT. BM sampai Rp54 miliar.
"Informasi yang kami terima juga dari aparat penegak hukum sudah melakukan proses penyelidikan dan penyidikan sehingga DPRD sangat mendukungnya berjalan secara transparan agar masyarakat bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi di perusahaan milik daereah itu," kata Edwin.
Anehnya lagi, proses pembayaran untuk mendapatkan gedung ini telah berjalan sejak tahun lalu dan menurut informasi tanpa melalui suatu Rapat Usaha Pemegang Saham (RUPS), kemudian uang Rp54 miliar ini disetor ke pesuruh kantor (office boy), bukannya kepada perusahaan atau badan usaha yang memiliki gedung dimaksud.
Ini merupakan dugaan-dugaan yang harus disikapi DPRD melalui pansus, agar informasi yang berkembang di publik ini sesuai fakta.
Edwin menjelaskan, tujuan pembentukan pansus sebenarnya agar DPRD bisa menjaga bank ini jangan sampai terjadi penyalahgunaan yang bisa berdampak kebangkrutan.
Sejak awal terjadi persoalan repo saham, DPRD sangat berhati-hati menyikapinya, namun masalahnya terus berlanjut dengan pembelian gedung baru maka DPRD segara akan mencegatnya serta mendorong dan mengawasi proses hukum.
"Kami tidak main-main dalam rangka mencari tahu situasi terkini bank Maluku dan siapa saja yang harus bertanggung jawab. Tentunya ini adalah ulah oknum tertentu yang harus diproses," tandasnya.