Ambon, 15/8 (Antara Maluku) - Komisi V DPRD Riau melakukan studi banding ke Maluku untuk mendalami penanganan pendidikan terkait penyerahan guru honor SMA/SMK dari pemerintah kabupaten dan kota ke pemerintah provinsi sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
"Kami ingin mempelajari bagaimana DPRD Maluku bersama pemprov menyelesaikan pengalihan para guru honorer SMA dan SMK dari kabupaten serta kota, termasuk persoalan penyerahan aset ke pemerintah provinsi," kata Ketua Komisi V DPRD Provinsi Riau, Aherson di Ambon, Selasa.
Penjelasan Aherson disampaikan dalam pertemuan dengan Ketua Komisi D DPRD Maluku Saadiyah Uluputy dan seluruh anggota komisi serta ketua-ketua fraksi bersama Sekretaris DPRD Maluku Roy Manuhuttu.
Sedangkan rombongan Komisi V DPRD Riau terdiri atas Aherson selaku ketua komisi didampingi lima dari 13 anggota komisi diantaranya Tengger Seinaga, Sugeng, Siswaja Mulyadi dan Ade Hartati.
Menurut dia, khusus masalah pendidikan dirasionalisasi anggarannya Rp210 miliar dan masalah mandatori pendidikan sesuai hitungan Permendagri maka Riau berada di posisi 22,3 persen tetapi menurut undang-undang baru mencapai 8,3 persen.
Karena itu, ada dua perbedaan. Permendagri itu memasukan DAK dan Bosnas dalam mandatori, sementara di undang-undang, keduanya tidak termasuk dalam mandatori APBD tetapi APBN.
"Masalah guru honor di Riau sesuai hasil pemindahan kewenangan itu telah diangkat 2.558 orang yang mempunyai UNPTK. Jadi standarnya yang dipakai dan mereka sudah bekerja dan punya UNPTK diterima sebagai ASN," katanya.
APBD murni dianggarkan sebagai persiapan dana cadangan yang bisa dibayarkan sebelum lebaran lalu dan masih 600 orang yang belum bisa menerima termasuk honor komite, honor tata usaha dan honor penjaga sekolah.
Sementara untuk jalan keluarnya membayar gaji mereka dari dana BOS 15 persen untuk pembayaran gaji guru. Itupun belum mencukupi sebab ada yang menerima honor hanya Rp500 ribu per bulan karena jumlah muridnya di suatu sekolah itu sedikit.
SMA di Riau 286 sekolah, SMK Negeri 116. Total 402 sekolah dan swasta sekitar 310 sekolah terdiri atas SMK sebanyak 174 dan SMA 146. Itu swasta yang menerima dana BOS.
"Khusus masalah Bosda kita juga menganggarkan tahun kemarin per murid Rp446.000 ditambah Bosda Rp1,4 juta jadi totalnya satu murid terima Rp1,9 juta lebih. Kita hitung dengan Dinas Pendidikan rasio kecukupan biaya untuk sekolah sekitar Rp3,5 juta per anak berarti masih ada kekurangan sekitar Rp1.5 juta yang harus disubsidi bila APBD mampu," ujar Aherson.
Masalah maping, Riau masih belajar dan hampir sama dengan Maluku, mulai dari penerimaan siswa baru masih bermasalah sehingga komisi menemui Dirjen Pendidikan karena ada sekolah yang padat penduduk di sekitarnya namun mereka tidak bisa masuk di situ.
Menurut UU, sebetulnya 90 persen diterima dari anak sekitar sekolah yang ada tetapi Diknas membuat aturan baru. "40 persen sehingga jadi masalah karena masyarakat melakukan aksi demo di gedung DPRD provinsi," katanya.
Untuk masalah PP 18 Tahun 2017, DPRD Riau sudah mengesahkan 14 Juli 2017 dan perda dibuat oleh komisi. Aherson juga selaku anggota Badan Pembentukan Perda.
"Sepanjang sejarah ini perda tercepat tentang hak-hak keuangan sudah ditelorkan DPRD Riau hanya dalam waktu 10 hari langsung paripurna baru kita konsultasi dengan kementerian," katanya.
Arahan Kementerian Dalam Negeri, kata dia, kalau sudah disahkan perdanya di bawah tanggal 15 Juli maka pembayarannya harus dimulai dari Juli.