Ambon, 2/2 (ANTARA News) - Tim penasihat hukum Anthoni Liando, terdakwa kasus dugaan suap pajak terhadap Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ambon meminta majelis hakim tipikor meringankan hukuman penjara selama tiga tahun yang dituntut JPU Komisi Pembarantasan Korupsi.
"Kami selaku PH bukan meminta agar terdakwa dibebaskan tetapi sesuai pembelaan bahwa dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang tentang Advokat mengatakan penasihat hukum juga sebagai penegak hukum," kata tim PH dikoordinir Jonathan Kainama di Ambon, Jumat.
Permintaan PH disampaikan dalam persidangan dipimpin ketua majelis hakim tipikor Ambon, Pasti Tarigan dan didampingi empat orang hakim anggota dengan agenda mendengarkan pembelaan PH atas tuntutan JPU KPK.
Oleh karenanya kalau fakta membenarkan klien mereka bersalah maka harus secara sportif dikatakan demikian.
"Makanya terurai dalam surat pembelaan bahwa kami sependapat dan tidak bisa lari dari fakta-fakta persidangan," ujarnya.
Secara terang-benderang kliennya telah melakukan tindakan yang melanggar ketentuan pasa 5 ayat (1) huruf A dari UU tipikor juncto pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.
Akan tetapi sebagai catatan bahwa perbuatan terdakwa ini menjadi sempurna karena adanya faktor-faktor pendukung.
"Yang pertama adalah proses pengawasan atau pendampingan dari KPP Pratama Ambon tidak dilakukan secara baik, artinya kalau dari awal diimbau agar klien kami menjadi seorang wajib pajak yang masuk kategori pengusaha kena pajak (PKP) pastinya dituruti," kata Jonathan.
Namun tidak pernah ada imbauan resmi yang dilakukan pihak kantor pajak, kemudian masalah fungsi pengawasan secara menyeluruhyang dilakukan langsung oleh Kepala KPP Pratama Ambon.
"Padahal klien kami ini punya indikasi sebagai wajib pajak yang taat," katanya.
Contohnya dalam tahun 2015 Anthoni Liando diminta memberikan setora tambahan wajib pajak sebesar Rp200 juta oleh mereka dan dipenuhi, kemudian muncul program pengampunan pajak dari pemerintah dan secara sukarela juga diikuti Anthoni Liando.
Terakhir tahun 2017, atas inisiatif sendiri terdakwa membuat badan hukum atas usahanya berupa Cv dan mengukuhkan dirinya sebagai wajib pajak yang masuk kategori PKP.
Perbuatan suap ini juga menjadi sempurna karena ketika tim pemeriksa melakukan pemeriksaan dan tidak berselang lama ada jumlah nilai pajak yang harus disetor antara Rp1,7 miliar hingga Rp2,4 miliar.
"Ini sebuah angka fantastis dan pengusaha inginkan angka yang aman saja sehingga diupayakan pendekatan oleh terdakwa untuk mengurangi nilai pajak yang harus disetorkan," jelas Jonathan.
Kemudian angka ini berubah-ubah lagi menjadi Rp1,3 miliar dan terakhir Rp1.037 miliar, padahal dalam aturan itu informasinya harus dalam bentuk SPAT dan tidak bisa sesuai hasil pemeriksaan.
Terdakwa dalam kesempatan itu juga membacakan pembelaanya sendiri yang intinya menyesali perbuatan yang sudah dilakukan, menerangkan alasan tidak adanya imbauan KPP agar dirinya menjadi wajib pajak yang PKP sehingga mempengaruhinya melakukan tindakan suap.
Atas pembelaan tim PH dan terdakwa sendiri, JPU KPK, Darmian menyatakan tetap pada tuntutannya.
Majelis hakim menunda persidangan hingga pekan depan dengan agenda mendengarkan pembacaan putusan.