Ullath, Saparua Timur, Maluku (ANTARA) - Setelah dirobohkan hingga rata dengan tanah untuk dibangun kembali pada 2014, Gereja Taman Hoea yang sebelumnya bernama Syalom di Negeri (Desa) Ullath, Kecamatan Saparua Timur, Kabupaten Maluku Tengah, diresmikan pada Selasa.
Ketua Majelis Pekerja Harian (MPH) Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), Pdt. AJ.S. Werinussa, Gubernur Maluku Murad Ismail dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Thomas Pentury bersama-sama meresmikan gereja di negeri yang disebut Beilohy Amalatu itu.
Gubernur saat menyampaikan sambutan mengungkapkan rasa syukur karena acara peresmian dihadiri oleh umat Kristiani dan Muslim.
"Itu menunjukkan toleransi dan kerukunan masyarakat Maluku sangat tinggi dan sesuai status Maluku sebagai laboratorium kerukunan umat beragama," katanya.
Dia juga mengatakan bahwa gereja bukan sekadar tempat beribadah, melainkan juga pusat pembangunan rohani dan karakter umat.
"Gereja ini mungkin yang termewah di seluruh Maluku. Karena itu sangat sayang kalau jemaat yang beribadah sedikit. Lebih baik gereja tanpa dinding tetapi jemaat yang beribadah sangat banyak," katanya, disambut tepuk tangan hadirin.
Ketua MPH GPM, A.J.S Werrinussa dalam sambutannya menyatakan bahwa Gereja Taman Hoea di Negeri Ullath layak diusulkan sebagai pusat kerohanian umat Kristen bersama Gereja Maranatha (Pusat) dan Gereja Joseph Kam di Kota Ambon.
Ia juga menyampaikan terima kasih kepada Keluarga Chandra-Pical yang telah membangun gereja untuk diserahkan kepada GPM dan dimanfaatkan oleh jemaat di Negeri Ullath.
Peresmian gedung Gereja Taman Hoea juga dihadiri oleh Ketua DPRD Maluku Lucky Wattimury, Kapolda Maluku Royke Lumowa, Pangdam Pattimura Marga Taufik, Rektor Unpatti Mathinus Johanes Sapteno, serta para Ulupati dan pejabat negeri.
Arsitektur Romawi-Lokal
Ketua Panitia Pembangunan Gereja Taman Hoea Robby Sapulette sebelumnya menjelaskan bahwa Gereja Taman Hoea dibangun lagi mulai Juli 2014.
Awalnya, Majelis Jemaat GPM Syalom Ullath merancang renovasi gedung gereja yang sudah usang itu dengan anggaran Rp3,5 miliar. Tetapi setelah diperhitungkan kembali, estimasi biaya pembangunannya naik menjadi Rp15 miliar.
Suami-isteri pengusaha Agung Dewa Chandra dan Maria Pical menyatakan komitmen sebagai donatur tunggal untuk pembangunan gereja.
Konsep renovasi gedung gereja kemudian diputuskan diubah menjadi pembangunan gedung gereja baru dengan anggaran biaya Rp31 miliar.
"Dari situ, gereja lama pun dirobohkan total pada Juli 2014 dan dilakukan peletakan batu pertama pada September 2014," kata Robby.
Menurut dia, bangunan utama gedung Gereja Taman Hoea dibangun dengan model arsitektur Romawi, sedang bagian atap yang dirancang menyerupai Bait Allah yang dibangun Raja Salomo (Sulaiman) dibangun dengan memasukkan unsur lokal.
Maria Chandra-Pical mengatakan bahwa sejak peletakan batu pertama pada 7 September 2014, perjalanan pembangunan gedung Gereja Taman Hoea (baca Taman Hu atau Taman Allah) yang luasnya 78 meter persegi dihadapkan berbagai tantangan.
Ia mengatakan, "hanya dengan penyertaan Tuhan seluruh pekerjaan selama lima tahun dan tiga bulan dapat terlaksana dengan baik".
Maria, yang akrab disapa Merry, juga mengutip ayat Alkitab yang menyatakan, "Jika bukan Tuhan yang membangun rumah, maka sia-sialah orang yang mendirikannya."
Silaturahim tiga negeri
Peresmian gedung Gereja Taman Hoea menjadi ajang silaturahim anak, cucu, dan cicit dari tiga gandong (saudara kandung) moyang penghuni Negeri Ullath di Pulau Saparua, Negeri Oma di Pulau Haruku, dan Negeri Buano, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB).
Konon, tiga gandong tersebut merantau dari Malaka dan masing-masing memilih satu tempat untuk menetap. Hikayat tersebut dituangkan ke dalam sebuah lagu berjudul "Tiga Nenek Moyang Ade Kaka (Tiga Wanita Kakak Beradik)" ciptaan Zeth Telehala (almarhum).
"Sio mama, dengar beta mau carita, tiga dara di zaman dulu kala. Waktu kecil, ibu bapa pelihara, sudah besar tinggal (-kan) kampung dan halaman. Dari Malaka....tiga orang beradik kaka, naik perahu dan tujuan datang ke Maluku. Di Tanjung Sole perceraian dan perjanjian, waktu tiap moyang telah mendapat tempat diam," demikian penggalan lirik lagu tersebut.
Ullath dan Oma beragama Kristen, sementara Buano, yang tertua di antara mereka, beragama Islam.
Persaudaraan tiga negeri bersaudara kandung itu terlihat jelas dari kehadiran utusan Buano dan Oma pada acara peresmian Gereja Taman Hoea.
Sehari sebelum peresmian mereka datang dan disambut di Baileo (tempat pertemuan adat) Beilohy Amalatu di samping kanan gereja, saling sapa dengan kata "Gandong-e".