Ambon (ANTARA) - Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Ambon menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibuslaw) dan Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) karena dinilai merugikan dan tidak pro rakyat.
"Kami mengambil sikap menolak dengan tegas RUU Cipta Kerja atau Omnibuslaw untuk disahkan menjadi Undang-Undang," kata Ketua DPC GMNI Cabang Ambon, Adi Tebwaiyanan di Ambon, Rabu.
Penolakan tersebut disampaikan GMNI saat melakukan demonstrasi dan berorasi di depan Kantor DPRD Maluku.
Menurut dia, RUU Cipta Kerja akan membawa kesengsaraan terhadap buruh dan pekerja di tanah air, kemudian juga akan mengeksploitasi serta menghilangkan hak-hak buruh atau pekerja.
RUU Cipta Kerja adalah jalan mulus kaum kapital dalam meraup keuntungan yang tinggi di atas kesengsaraan proletar. RUU ini bahkan merupakan produk hukum yang tidak pro rakyat dan juga melanggar konstitusi.
"Maka berdasarkan UUD pasal 28F, ayat 3 tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, DPC GMNI Cabang Ambon mewakili keresahan rakyat Indonesia terhadap RUU Cipta Kerja ini," tegas Adi.
GMNI juga mendesak DPRD Provinsi Maluku, untuk menolak dengan tegas pengesahan RUU Cipta Kerja dan mendesak DPR-Rl untuk tidak mengesahkannya menjadi UU.
Mereka juga mempertanyakan alasan RUU PKS harus disahkan. Menurut GMNI, negara harus hadir dan memberikan jaminan, serta melindungi segenap warga negara, dan memberikan rasa aman.
"Salah satu bentuk dari jaminan negara tersebut adalah dalam bentuk UU, dan dalam konteks memberikan jaminan keamanan atas kekerasan seksual, sangat diperlukan juga sebuah UU yang berkualitas serta memiliki keberpihakan yang jelas terhadap korban," ujar Adi.
Kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa yang selalu terjadi, bahkan terus mengalami peningkatan.
Karena sesuai data dari Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak, jumlah korban kekerasan seksual pada 2019 terdapat 431.471 kasus dan perlu diketahui bahwa kekerasan seksual memiliki dampak serta efek domino bagi korban, baik itu dampak fisik maupun psikis, juga sosial.
"Kekerasan seksual merupakan persoalan kemanusiaan dan pelanggaran terhadap HAM. Kekerasan seksual adalah tindakan pemaksaan yang mencederai dan merengut harkat, martabat, kehormatan, serta kemerdekaan seseorang," kata dia.
Ketua DPRD Maluku, Lucky Wattimury yang menerima kehadiran para pendemo menyatakan akan meneruskan aspirasi dan tuntutan mereka ke DPR RI.
"Pernyataan sikap ini akan kami teruskan dan sampaikan ke DPR RI, dan sebenarnya sejak Desember 2019 kami sudah menyurati DPR RI juga, karena kelompok perempuan di daerah ini telah memintanya," ujar Lucky.
Menurut dia, seluruh pernyataan sikap baik yang berhubungan dengan RUU Omnibuslaw maupun PKS akan dilampirkan bersama surat DPRD Provinsi Maluku untuk disampaikan kepada DPR RI di Jakarta.
Bagaimana pun, kata Lucky , aspirasi masyarakat sekecil apapun harus ditindaklanjuti sesuai dengan fungsi dan tugas DPRD.
"Hari ini kami akan buat surat ke DPR RI, dan paling terlambat besok akan kami kirimkan. Berikutnya, jika saudara-saudara pernah memasukkan surat untuk bertatap muka dengan kami tapi belum dilayani, maka saya mewakili DPRD menyampaikan permohonan maaf," tandasnya.