Ambon (ANTARA) - Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Sakti Wahyu Trenggono menegaskan pihaknya tidak akan memberikan izin kepada kapal ikan buatan luar negeri atau kapal ikan eks asing untuk beroperasi di wilayah perairan Indonesia.
Tidak ada perizinan bagi kapal ikan eks asing, saat ini saja sudah overfishing, ngapain lagi kita bicarakan. Menurut saya sudah tidak relevan," kata Menteri Sakti Wahyu Trenggono dalam siaran pers diterima Antara dari koalisi LSM Koral, di Ambon, Jumat.
Penegasan Menteri Sakti Trenggono tersebut disampaikan saat melakukan audiensi bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) secara virtual pada Senin (5/7).
Dalam audiensi tersebut, Menteri Kelautan mengungkapkan bahwa dirinya tercengang setelah mendapatkan data terkini pada Wilayah Pengelolaan Perikanan-Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 718 yang meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru & Laut Timor Bagian Timur, sebagai salah satu daerah penangkapan udang dan ikan demersal yang paling produktif di Indonesia.
Baca juga: DPRD Maluku minta polisi tindak nelayan andong tidak kantongi izin, tegakkan aturan
Menurut Menteri, pada WPP-RI 718 yang semula bisa diambil 10 juta ton ikan, kini mengalami penurunan signifikan sampai menjadi 1 juta ton.
Menurutnya, untuk menunjukkan keberpihakan terhadap para nelayan, maka tidak cukup dengan mengeluarkan kebijakan. Pemerintah perlu melakukan pembangunan bagi para nelayan. Namun anggaran KKP sebesar Rp6 triliun tidak cukup untuk memenuhi ini.
Karena itu KKP berencana meningkatkan penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui skema paskaproduksi. Hasilnya akan digunakan untuk memberpaiki subsektor perikanan tangkap. "Mereka yang melaut harus membayar dalam bentuk PNPB," ujarnya.
Sebelumnya, KKP berencana kembali memberikan izin kepada kapal ikan eks asing untuk beroperasi di Indonesia. Hal ini terungkap dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan sebagai aturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Plt Dirjen Perikanan Tangkap KKP, M. Zaini mengatakan ada 447 kapal eks asing yang ada di Indonesia. Kapal tersebut dapat beroperasi kembali dengan syarat diantaranya harus berbendera Indonesia, wajib menggunakan nakhkoda dan awak kapal perikanan dalam negeri, menggunakan alat penangkapan ikan sesuai dengan peraturan, mendaratkan ikan hasil tangkapan di dalam negeri, dan tidak melakukan transshipment (pemindahan muatan).
Namun rencana ini ditentang oleh KORAL yang meminta audiensi dengan Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono.
Baca juga: KKP siapkan klaim kerugian rusaknya terumbu karang Raja Ampat akibat kapal KM Sabuk Nusantara
KORAL merupakan koalisi sembilan lembaga masyarakat sipil yang peduli terhadap kelautan dan perikanan Indonesia, yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Ecosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa), Pandu Laut Nusantara, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Greenpeace, Destructive Fishing Watch (DFW), Terumbu Karang Indonesia (TERANGI), dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).
Dalam pertemuan itu, KORAL meminta KKP tetap mempertahankan kebijakan lama yakni tidak memberikan izin penangkapan ikan kepada kapal ikan eks asing. "Kapal-kapal ini sebelumnya bermasalah, maka menjadi penting sekali untuk berhati-hati dalam memberikan izin kembali," kata CEO EcoNusa, Bustar Maitar.
Ada beberapa pertimbangan yang disampaikan KORAL. Menurut Bustar, tidak dikeluarkannya izin terhadap kapal ikan eks asing justru akan memberikan ruang yang lebih besar terhadap nelayan kecil. Jadi ikan yang berada di perairan Indonesia bisa dinikmati oleh nelayan asli Indonesia. "Sehingga akan tercipta welfare (kesejahteraan) untuk nelayan kita, seperti yang dicita-citakan oleh Pak Menteri," ujar dia.
Kendati nantinya kapal ikan eks asing tersebut berbendera Indonesia, namun kegiatan perusahaan dan kapal tetap dikendalikan oleh pemilik modal yang berasal dari luar negeri. Sebelumnya pun, hampir seluruh kapal ikan eks asing pun menggunakan awak kapal (ABK) asing.
Selain itu, data menunjukkan dari 1.132 kapal ikan eks asing sebanyak 616 diantaranya menggunakan alat tangkap jaring trawl yang tidak ramah lingkungan dan sudah dilarang di Indonesia.
Bustar juga menyoroti tentang potensi konflik nelayan Indonesia dengan kapal ikan eks asing. Misalnya di WPP-NRI 718 yang meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur. Di wilayah dangkal itu banyak kapal nelayan tradisional yang beroperasi.
Jika wilayah tersebut kemudian dimasuki oleh kapal besar, maka akan terjadi persaingan dan potensi konflik yang bisa berujung kepada pelanggaran hak asasi manusia. "Kami ingin melihat nelayan kecil diberikan ruang dan didukung penuh oleh pemerintah untuk bisa berkembang terlebih dahulu," kata Bustar.
Baca juga: Menteri KKP lihat potensi sektor perikanan dan rumput laut Tual
KORAL juga merekomendasikan KPP untuk membenahi tata kelola perikanan yang terukur. Director of International Engangement and Policy Reform IOJI Stephanie Juwana, mengatakan perikanan yang terukur bisa terlaksana dengan kepatuhan dari para pelaku usaha. Ada dua aspek yang sangat penting, yakni kepatuhan sistem pengawasan kapal perikanan atau vessel monitoring system (VMS) dan peningkatan pelaporan kapal Indonesia.
Analisis VMS meliputi analisis kepatuhan daerah penangkapan ikan, kepatuhan kapal ikan Indonesia memastikan VMS, fishing trip, memeriksa kapal yang melaut sangat lama.
Selain itu analisis pemindahan muatan (transshipment) di tengah laut, kepatuhan kapal ikan untuk tidak melakukan illegal fishing, dan analisasis kepatuhan pendaratan ikan untuk mengetahui praktik kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar (unreported fishing).
Sedangkan peningkatan pelaporan kapal Indonesia bisa dilakukan dengan kepatuhan pelaporan hasil tangkap kapal ikan Indonesia (LKP dan LKU) yang akurat. Ini penting untuk memastikan bahwa produktivitas masih dalam tingkat keberlanjutan, memastikan kepatuhan pelaku usaha, dan mengoptimalkan penerimaan PNBP dan pajak di sektor perikanan.
"Misalnya perbandingan total penerimaan pajak sektor perikanan dengan rasio pajak nasional adalah 8,25 persen sampai 8,6 persen pada 2021. Hal ini menimbulkan kesenjangan pajak (tax gap). Salah satu penyebabnya adalah pelaku usaha tidak melaporkan dengan benar hasil usahanya," kata Stephanie.
Baca juga: DKP selidiki kegiatan ilegal pengambilan telur ikan terbang di Malra, tegakan aturan
Baca juga: Kepala Bappenas inginkan Maluku miliki pasar ikan internasional, begini penjelasannya