Ambon (ANTARA) - Ketua tim I bidang kesehatan COVID-19 DPRD Maluku, Melkianus Sairdekut mengatakan, sistem pembayaran jasa penanganan pasien COVID-19 untuk tenaga medis ternyata tidak mudah dan selektif serta membutuhkan waktu lama.
"Kondisi ini diketahui setelah tim I melakukan rapat kerja dengan Dinkes Provinsi Maluku, manajemen RSUD dr. M. Haulussy Ambon, serta RSUD dr. Ishak Umarella di Tulehu," kata Melkianus, di Ambon, Sabtu.
Selain pembayaran insentif kepada tenaga kesehatan (Nakes) yang selalu terlambat, ternyata pembayaran jasa penanganan pasien COVID juga mengalami hal serupa akibat sistem verifikasi berlapis.
Menurut dia, verifikasi berkas klaim pembayaran jasa penanganan pasien COVID yang pertama harus melalui BPJS, lalu dilanjutkan dengan langkah serupa yang dilakukan oleh Kemenkes RI.
Sementara Direktur RSUD dr. Ishak Umarella Tulehu, dr. Dwi Murti Niryanti dalam rapat kerja tersebut menjelaskan hak tenaga medis berupa jasa penanganan pasien COVID pada Juni - Juli 2020 sudah diklaim dan turunnya tertanggal 30 Desember 2020 dari Kemenkes RI.
"BPJS hanya sebagai verifikator, tetapi dananya asli dari Direktorat Pelayanan Medik Kemenkes RI," ujarnya.
Jadi biasanya dari RS mengajukan klaim jumlah pasien berdasarkan hari perawatan dan sebagainya masuk di BPJS, lalu diverifikasi sebagai verifikator pertama dan nantinya masih ada prosedur serupa yang dilakukan Kemenkes.
"Seringkali terjadi ketidak-sepahaman antara pihak RS dengan BPJS sehingga yang layak dibayar mengalami penurunan, misalnya diajukan klaim Rp39 miliar tetapi disetujui hanya ratusan juta rupiah,"kata Dwi.
Untuk masalah ketidak-sepaham oleh BPJS setelah melakukan verifikasi nantinya mereka akan memberikan catatan penanganan satu kasus tidak ada kesepakatan karena tidak ada rujukan atau rontgen evaluasi.
Contoh di RS dr. Ishak Umarella di Tulehu pada Juni - Juli 2020 Rp14 miliar karena 90 pasien dirawat selama dua bulan, lalu disetujui Rp12 miliar lebih yang dicairkan pada 30 Desember 2020, sedangkan yang tidak ada kesepakatan setelah diverifikasi Rp1,9 miliar lebih.
Untuk dana Rp1,9 miliar yang tidak ada kesepahaman ini kemudian diperbaiki syarat-syaratnya sehingga dananya baru diturunkan pada Maret 2021.
"Karena anggarannya sudah cair maka kami setor ke pemda sebab RS Tulehu belum Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), tetapi bisa ditarik lagi karena itu adalah 100 persen haknya RS lalu dibagi 40 persen untuk jasa dan 60 persen untuk operasional," kata Dwi.
kemudian untuk Januari hingga April 2021 sudah diajukan klaim sebesar Rp4,2 miliar sebab pasiennya tidak banyak dan hanya disetujui Rp600 juta, karena ketidaksepahaman dan banyak syarat yang harus dipenuhi dengan adanya perubahan aturan.