Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia mulai memberlakukan integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Peneliti ekonomi senior Center of Reform on Economics Indonesia Yusuf Rendy, menilai pemerintah perlu memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa pengintegrasian NIK dan NPWP bukan berarti setiap pemilik NIK menjadi wajib pajak.
“Banyak ataupun beberapa masyarakat menganggap ketika sudah terdaftar ataupun memiliki NPWP dalam konteks ini sudah diintegrasikan dengan NIK, maka mereka wajib dalam membayar pajak sesuatu hal yang tentu secara konsep tidak tepat dan perlu diluruskan,” kata Yusuf Rendy saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu.
Selain itu, lanjutnya, masyarakat juga perlu tahu kewajiban-kewajiban apa saja yang perlu dijalankan ketika misalnya pengintegrasian NIK dan NPWP sudah berjalan secara optimal, Kewajiban tersebut, sebutnya, termasuk di dalamnya melaporkan aktivitas pembayaran pajak mereka secara baik.
Baca juga: Maluku Utara luncurkan aplikasi "E-payment" pajak kendaraan bermotor
Data kependudukan yang lebih baik juga dinilainya menjadi prasyarat agar kebijakan tersebut bisa berjalan secara optimal. Sejumlah daerah masih belum memiliki data kependudukan yang tepat, di beberapa daerah masih ditemukan data ganda ataupun data yang tidak up to date.
“Sehingga kolaborasi tidak hanya dari otoritas pajak namun juga otoritas yang terkait termasuk di dalamnya Kemendagri dan juga dinas-dinas di daerah menjadi penting untuk memastikan NIK yang beredar saat ini adalah NIK aktif dari seluruh masyarakat yang ada saat ini,” jelasnya.
Ia menambahkan, integrasi tersebut bisa mempermudah otoritas mengukur kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak.
Baca juga: Kemenkes pastikan tak ada kebocoran data di PeduliLindungi, begini penjelasannya