Bahaya banjir dan tanah longsor merupakan dua jenis bencana alam yang terjadi hampir setiap tahun di Provinsi Maluku, khususnya Kota Ambon dan berdampak timbulnya korban jiwa dan harta.
"Sejak awal Februari ini musim hujan sudah tiba, dan itu berarti kami harus waspada terhadap bahaya banjir sebagai akibat meluapnya sungai di daerah ini yang selalu jadi langganan banjir," kata Nurdin, salah satu warga Baru Merah Dalam di Ambon, Senin.
Warga yang menetap di dekat bantaran sungai Batu Merah ini mengaku sulit pindah ke lokasi lain karena susah mendapatkan lahan untuk membangun rumah.
Nurdin juga mengakui kalau saat musim hujan tiba dan bertahan selama dua sampai tiga hari berturut-turut, maka air sungai akan meluber sampai ke kawasan pemukiman penduduk termasuk asrama TNI-AD di Baru Merah Dalam.
"Ketinggian air bisa mencapai lebih dari dua meter, dan warga terpaksa memindahkan sebagian barang mereka yang ringan dan penting ke atas plafon rumah," katanya.
Kondisi serupa juga dialami J. Watwahan, salah satu warga Batu Gantung dalam yang enggan pindah ke lokasi lain karena alasan kesulitan mendapatkan lahan yang baru dan benar-benar aman dari sengketa tanah untuk membangun rumahnya.
Menurut dia, lokasi tempat tinggalnya pernah terjadi musibah longsoran tanah dan dua batu karang sebesar mobil angkot yang menewaskan tujuh orang bermarga Noya ditambah seorang wanita tua yang bersebelahan dengan mereka.
Dua kakak beradik di kawasan Wara Kuning, Desa Batu Merah (Kecamatan Sirimau) Kota Ambon ketika itu juga menjadi korban tertimbun tanah longsor.
"Kalau guyuran hujannya sudah bertahan lebih dari sehari, kami terpaksa mengungsi ke rumah kerabat untuk menghindari adanya musibah tanah longsor," katanya.
Studi desain penanganan
Anggota komisi C DPRD Maluku, Tobyhen Sahureka mengatakan, sistem penangan korban pascabencana alam tidak akan pernah tuntas kalau tidak dilakukan perubahan.
"Umumnya yang menjadi persoalan adalah penanganan pascabencana karena ada kaitan dengan persoalan rumah warga yang menjadi korban maupun infrastruktur dasar lain yang rusak, dan kalau penaganannya hanya sebatas ini saja maka tidak pernah akan menjawab persoalan yang terjadi," katanya.
Sebab, kata Sahureka, yang diinginkan adalah penanganan secara general dan holistik sehingga dampak bencana alam yang terjadi dari tahun ke tahun semakin mengecil skalanya atau kwalitasnya menurun.
"Dalam tahun anggaran 2012 ini, lewat Dinas PU kita alokasikan anggaran berupa studi dalam bentuk perangkat lunak (softwere) untuk mendesain pola penanganan daerah rawan bencana di wilayah pegunungan atau perbukitan seperti Batu Gajah dan Batu Gantung yang dikawal ketat karena merupakan hal yang sangat penting," kata anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Maluku ini.
Dari studi itu diharapkan diperolah pola penanganan bencana, mencegah banjir dan tanah longsor yang bisa menelan korban jiwa maupun kerugian matial setiap tahun.
Bila program itu sudah selesai maka selanjutnya mulai disusun program strategis yang berkaitan dengan penanganan pascabencana alam.
Sahureka menilai, penanganan pasca bencana berupa penanggulangan kerugian seperti rumah warga yang rusak atau infrastruktur lain umunya mengalami hambatan karena ini bukan persoalan mudah yang diselesaikan sebenarnya.
Di sisi lain, sebenarnya pemerintah kabupaten/kota juga perlu melihat persoalan ini sebagai hal yang perlu ditangani meski mereka juga terkendala dengan persoalan anggaran yang terbatas.
"Contohnya bencana alam 2010 di kota Ambon yang merusak rumah warga rusak bahkan menimbulkan korban jiwa, namun rencana membangun kembali talud dan rumah warga korban longsor tahun anggaran 2011 tidak bisa terealisasi akibat Pemkot Ambon mengalami defisit," katanya.
Sahureka juga menilai program Rumah Susun (rusun) dari Pemkot Ambon cukup bagus untuk menangani masalah kebutuhan papan masyarakat sekaligus menghindari pembukaan lahan baru di lereng perbukitan, bantaran sungai hingga daerah resapan air.
Namun, ada persoalan dengan budaya atau kebiasaan hidup masyarakat di Ibu kota Provinsi Maluku ini.
"Rumah susun sebenarnya bagus, tapi apakah sesuai dengan akar budaya kita masyarakat Maluku atau tidak," ujarnya.
Dalam pemikirannya, rusunakan mengubah pola hidup bermasyarakat di daerah ini, karena antar tetangga yang bukan berada pada satu bangunan saja bisa bentrok akibat masalah pembuangan sampah atau limbah.
Sementara relokasi masyarakat, misalnya dari Batumerah ke Airkuning, Batu Gajah ke Paso atau Hutumuri bisa saja dilakukan, tapi orang enggan karena terlalu jauh dari pusat kota.
Sehubungan itu, pemerintah perlu membuka kawasan-kawasan ekonomi baru di setiap kecamatan seperti pasar tradisional maupun supermarket agar orang merasa pusat perdagangan tidak terlalu jauh dan perpindahan penduduk dari desa atau daerah lain ke Kota Ambon tidak akan terfokus di pusat kota.
"Kami pikir ini merupakan solusi dan strategi jitu bagi pemerintah daerah untuk melakukan penataan kota ke depan menghindari pembukaan pemukiman di kawasan yang rawan bencana alam baik longsor maupun banjir," kata Sahureka.