Ketua Program Studi Profesi Apoteker Universitas Pancasila Jakarta Hesty Utami Ramadaniati menyatakan bahwa obat generik memiliki kualitas yang sama dengan obat paten.
"Obat ketika pertama kali muncul disebut obat paten, dan saat patennya habis, semua berubah namanya menjadi obat generik, jadi selama ini kalau anggapan masyarakat obat paten lebih bagus, itu salah, padahal selama ini itu hanya obat generik bermerek," kata Hesty pada diskusi bersama media di Jakarta, Selasa (3/10).
Ia menegaskan, produksi obat memerlukan upaya riset dan pengembangan sekitar lima tahun, dan masa paten suatu obat akan bertahan selama 15-20 tahun, sampai kemudian bisa diproduksi secara massal menjadi obat generik dengan harga yang lebih murah.
"Obat generik bermerek itu menjadi mahal karena ada pemasaran dan iklan, kalau obat generik kan pangsa pasarnya lewat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS Kesehatan, tetapi itu kandungannya sama saja, tidak ada beda kualitas," ujar Hesty.
Ia menegaskan, masyarakat mesti sadar untuk bertanya kandungan di dalam obat dan berhak untuk meminta resep obat generik apabila merasa obat yang diresepkan dokter terlalu mahal.
"Ada namanya efek plasebo, jadi orang sebelum minum itu ada efek tambahan di dalam tubuhnya (menganggap obat paten) itu lebih baik, padahal sama saja kandungannya, misalnya, paracetamol, ada merek lain, kandungan zat aktif di dalamnya tetap sama, ya paracetamol," ucap dia.
"Silakan kalau mampu beli yang mahal, tapi isinya sama saja, dan kalau diresepkan dokter mahal, kita bisa meminta obat generik," imbuhnya.
"Silakan kalau mampu beli yang mahal, tapi isinya sama saja, dan kalau diresepkan dokter mahal, kita bisa meminta obat generik," imbuhnya.
Ia juga mengimbau masyarakat untuk membeli obat berdasarkan resep dokter, atau di apotek-apotek resmi.
"Kalau bisa beli di outlet apotek yang resmi, kemudian kalau pun harus beli secara daring, kan di toko-toko itu kita bisa lihat yang sudah terverifikasi yang mana, tetapi sebisa mungkin jangan ke toko daring, karena kalau beli secara langsung di apotek resmi kan lebih teregulasi, itu saran-nya," paparnya.
Ia juga menjelaskan, proses hingga obat generik bioekivalen (setara) dengan obat paten juga memerlukan waktu dua tahun setelah masa paten berakhir.
"Harus menunjukkan dulu bioekivalen untuk dapat izin edar dari BPOM. Kalau obat paten misalnya dia butuh proses uji hewan, uji manusia, evaluasi dari lembaga farmasi, riset, dan lain sebagainya selama 20 tahun, ketika patennya habis, maka industri lain hanya perlu menunjukkan bahwa kandungan obat generik sama dengan obat paten," ucapnya.
Setelah kandungannya dipastikan sama, obat generik tersebut juga harus dibandingkan terlebih dahulu dengan obat inovator-nya (paten) dengan beberapa aspek penilaian, seperti mutu, keamanan, dan ketersediaan.
Adapun Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah.
Pada bab II pasal 2 disebutkan, "Fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, pemerintah daerah wajib menyediakan obat generik untuk kebutuhan rawat jalan dan rawat inap dalam bentuk formularium.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pakar: Obat generik miliki kualitas yang sama dengan obat paten