Siapa tidak tahu sapu lidi dari pohon enau (arenga pinnata). Sapu yang biasanya digunakan membersihkan halaman, walau bentuknya ramping dan kecil, batang sapu ini dapat menimbulkan sakit jika dipukul ke tangan, kaki atau anggota badan lain.
Namun, tidak demikian bagi warga di Desa Mamala dan Morela, Kecamatan Leihitu, Pulau Ambon, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), meski dipukul berkali-kali dengan batang lidi yang dalam bahasa Maluku disebut pohon mayang, hingga menimbulkan guratan merah di badan dan mengeluarkan darah, sudah menjadi hal yang biasa dan lumrah.
Kebiasaan saling memukul dengan lidi merupakan salah satu tradisi unit masyarakat kedua desa bertetangga dan memiliki pertalian hubungan saudara yang dikenal dengan ritual adat "Pukul Sapu".
Ritual adat tergolong ekstrim di desa yang terletak di bagian Timur Pulau Ambon tersebut biasanya digelar setiap tahun saat perayaan 7 Syawal setelah umat Muslim selesai merayakan Idul Fitri. Tradisi ini pun telah dilakukan dan terus dilestarikan sejak abad 16 atau di masa penjajahan Portugis dan Belanda.
Pada Lebaran tujuh Syawal tahun ini, atau Minggu (26/8) tradisi yang melegenda itu kembali digelar dan menyedot perhatian ribuan wisatawan lokal, nusantara maupun mancanegara.
Di Desa Morella misalnya, adat pukul sapu ini tidak hanya diikuti oleh pemuda atau orang dewasa saja. Ada babakan tersendiri yang dikhususkan pesertanya adalah anak-anak.
"Adu pukul sapu lidi antar anak di Morella sebagai bentuk regenerasi tradisi kami, sekaligus mempersiapkan mereka agar kelak dapat memainkan peran penting untuk melestarikan tradisi turun temurun leluhur kami," kata tokoh pemuda Morella, Rusda Leikawa.
Jumlah peserta ritual adat ini sebenarnya tidak dibatasi, tetapi disesuaikan dengan kondisi arena yang dipersiapkan. Di Desa Morella jumlah pesertanya dibatasi 60 orang pemuda--berbadan tanggung bertelanjang dada--dibagi tiga kelompok atau masing-masing 20 orang per kelompok.
Masing-masing kelompok juga dibagi menjadi dua regu. Mereka hanya menggunakan celana pendek dan berikat kepala. Masing-masing regu hanya dibedakan oleh warna celana yang digunakan yakni merah dan kuning atau hitam dan kuning.
Sedangkan di desa Mamala, satu kelompok pemuda dibatasi 20 orang hingga 30 orang karena lokasi arenanya lebih luas. Kelompok masing-masing dibedakan oleh warna celana merah dan putih.
Sehari sebelum ritual adat dilakukan, para pemain harus dikumpulkan dalam rumah adat masing-masing untuk melakukan upacara adat dan berdoa meminta pertolongan dan restu sang pencipta serta para leluhur untuk melindungi para pemuda yang akan mengikuti ritual tersebut.
Saling serang
Dengan memegang dua ikat lidi mentah yang baru dipotong dari pohon aren, dua regu pemuda memasuki arena. Senyum tersungging di wajah mereka. Mereka memang patut bergembira, karena tidak semua pemuda di kedua desa itu diperkenankan mengikuti tradisi adat tersebut. Mereka adalah pemuda-pemuda pilihan dari desanya masing-masing.
Sama seperti halnya sepakbola atau permainan lainnya, dalam tradisi ini juga seorang tokoh adat di kedua desa itu bertindak sebagai wasit. Dengan peluitnya sang wasit memandu jalannya atraksi saling memukul antarkedua kelompok yang saling berhadap-hadapan.
Saat seruling berbunyi kelompok bercelana merah atau hijau dipersilahkan lebih dahulu untuk memukul kelompok bercelana putih atau kuning.
Begitu pun sebaliknya saat seruling dibunyikan lagi, giliran kelompok bercelana putih dan kuning yang menyerang dan memukul kelompok bercelana merah dan hijau.
Masing-masing pemuda dengan memegang dua hingga tiga batang lidi--ukurannya lebih besar dengan panjang antara 1,5 - 2 meter dengan diameter pangkal mencapai 1-3 sentimeter--terlihat memukul berkali-kali badan lawannya dengan sekuat tenaga. Area pukulan hanya dibatasi dari dada kebagian bawah.
Sabetan lidi yang mengenai badan lawan mengeluarkan bunyi cukup keras menyerupai lecutan cambuk. Terkadang tiga batang lidi yang digunakan sudah hancur hanya dalam hitungan dua atau tiga kali sabetan saja.
Pukulan lidi berkali-kali mengakibatkan guratan merah memanjang sekujur tubuh para pemain. Sebagian besar malah mengeluarkan darah. Bahkan tidak jarang potongan batangan lidi pun turut tertancap pada kulit dan luka di tubuh para pemain.
Uniknya, tidak sedikit pun terlihat atau terdengar erangan dan jeritan kesakitan para pemain akibat dipukul dengan lidi. Mereka malah sebaliknya terlihat ketagihan untuk dipukul berulang kali. Atraksi ini tentunya membuat gemetar dan ngeri pengunjung yang baru pertama kali menyaksikannya.
Tidak jarang warga atau wisatawan yang berada paling dekat dengan arena atraksi, harus meringis kesakitar akibat terkena sabetan batang lidi para pemain.
Sebagian besar pemain mengaku tidak merasakan sakit di tubuh mereka yang memar dan luka serta mengeluarkan darah akibat sabetan lidi itu.
"Sabetan lidi malah menimbulkan rasa gatal-gatal dan membuat kami ketagihan untuk terus dipukul," ujar beberapa pemain.
Berbeda histori
Meski kedua desa itu memiliki pertalian hubungan persaudaraan, tetapi ritual adat pukul sapu memiliki nilai histori yang berbeda satu dengan lainnya.
Konon, upacara adat Pukul Sapu di Morella merujuk pada perjuangan Achmad Leakawa berjuluk Kapitan (pimpinan perang) "Telukabessy" beserta anak buahnya saat ketika menghadapi tentara Belanda dalam Perang Kapahala (1643-1646 M). Perang ini dipantik oleh pendirian markas VOC (kongsi dagang Belanda) di Teluk Sewatelu, Ambon, pada tahun 1636 M.
Perang semakin tak terelakkan ketika tentara Belanda hendak merebut Benteng Kapahala, milik warga Maluku, dengan cara mengepungnya dari berbagai penjuru.
Dalam perang ini, para pejuang terdesak akibat serangan darat yang didukung tembakan meriam dari kapal-kapal VOC dari laut. Karena tidak berimbang, akhirnya benteng yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Desa Morella dan Mamala tersebut dapat dikuasai oleh Belanda.
Pada perang itu, Kapitan Telukabessy dapat meloloskan diri. Namun, anak buahnya banyak yang berhasil ditangkap. Sebagian dari mereka kemudian dijadikan tawanan di Teluk Sewatelu dan sebagiannya lagi dibuang ke Batavia (sekarang Jakarta).
Meskipun berhasil meloloskan diri, Kapitan Telukabessy tetap dihadapkan pada situasi sulit, yaitu antara menyerahkan diri atau anak buahnya dibunuh kompeni. Akhirnya, Kapitan Telukabessy memilih menyerahkan diri pada Komandan Verheijden pada tanggal 19 Agustus 1646. Oleh Gubernur Gerard Demmer, Kapitan Telukabessy dijatuhi hukuman gantung di Benteng Victoria, Ambon, pada tanggal 27 September 1646.
Setelah ditawan selama tiga bulan di Teluk Sewatelu, anak buah Kapitan Telukabessy dibebaskan Belanda. Sebelum berpisah dan kembali ke daerah asal masing-masing, mereka menggelar acara perpisahan yang terbilang heroik, dengan menampilkan aneka tari adat, menyanyikan lagu-lagu daerah, serta ritual pukul sapu.
Tujuan acara pukul sapu adalah agar tetesan darah dari tubuh mereka yang jatuh dan meresap ke tanah dapat mengingatkan mereka untuk berkumpul kembali di tempat tersebut suatu saat nanti.
Sedangkan di Desa Mamala, tradisi ini dilakukan secara turun-temurun untuk mengenang keberhasilan warga desa setempat membangun Masjid tanpa menggunakan "Ping" atau pada abad 17 lalu.
Ihwal cerita, usai perang Kapahaha (1637-1646), rakyat Mamala diperintahkan oleh Belanda untuk turun dari Gunung (negeri mamala lama) dan mendirikan kampung di pesisir bersama masjid agar mudah diawasi.
Saat membangun mesjid warga kesulitan menyambung kayu-kayunya menyebabkan pekerjaannya terbengkalai. Imam Tuni--seorang tokoh agama saat itu--kemudian melakukan puasa selama beberapa hari untuk memperoleh petunjuk yang diberikan dalam mimpinya saat tidur.
Dalam mimpinya, Imam Tuni disuruh menyambung kayu-kayu tersebut dengan menggunakan minyak "Nyualaing Matetu" atau yang lebih dikenal dengan minyak "Tasala" (keseleo-red). Minyak ini kemudian digunakan untuk membasahi potongan kain putih yang digunakan menyambung kayu yang digunakan untuk membangun masjid.
Hal ini dapat dibuktikan saat pembongkaran mesjid tua di Desa itu, di mana ditemukan potongan kain putih pada setiap sambungan kayu dan tiang dan tidak menggunakan "Ping" atau paku. Satu-satunya kayu yang menggunakan paku adalah Tiang Alif pada mesjid tua itu.
Minyak tersebut oleh kalangan masyarakat di Ambon atau Maluku pada umumnya lebih dikenal dengan sebutan "minyak Mamala". Khasiat minyak ini memang terbukti ampuh untuk mengobati penyakit patah tulang dan keseleo.
Untuk membuktikan keampuhannya ini, maka dilakukan ujicoba pemukulan dengan menggunakan batang lidi mentah pohon aren. Hasilnya ternyata luka akibat tersabet lidi tersebut menjadi sembuh setelah dioles minyak "Nyualaing Matetu".
Minyak inilah yang akhirnya digunakan untuk mengobati luka para peserta yang mengikuti tradisi pukul sapu. Hanya dalam tempo dua atau tiga hari luka tersebut akan mengering dan tidak meninggalkan bekas.
Keberhasilan ini kemudian dirayakan dengan memilih waktu tepat berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW untuk dilaksanakan yakni hari raya ketujuh atau 7 Syawal setelah Idul Fitri dengan tradisi Pukul Sapu.
Harus mendunia
Pelaksanaan ritual adat pukul sapu yang sudah berlangsung puluhan tahun ini semakin menyedot perhatian masyarakat dari berbagai pelosok di Kota Ambon bahkan Maluku, bahkan wisatawan nusantara dan mancanegara untuk membanjiri kedua desa, guna menyaksikan tradisi adat tahunan ini.
Biasanya ribuan warga telah mendatangani kedua desa bertetangga yang letaknya sekitar 35 Km sebelah Utara Pulau Ambon itu sejak pagi hari, dengan menggunakan puluhan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat untuk menyaksikan ritual budaya tersebut.
Puluhan wisatawan mancanegara dari Australia, Belanda, Amerika dan Inggris yang secara kebetulan sedang berada di Ambon juga terlihat antusias menyaksikan atraksi "bakupukul" dengan batang lidi yang merupakan puncak dari rangkaian pesta budaya di kedua desa itu.
Beberapa pejabat Pemprov Maluku dan Malteng serta sejumlah wisatawan yang hadir dipersilahkan para pemuda untuk memukulkan lidi ke badan mereka sebelum acara puncak digelar.
Batang lidi bekas atraksi adat itu biasanya menjadi rebutan para penonton untuk dibawa pulang sebagai "ole-ole" (kenang-kenangan), sekaligus sebagai bukti kepada sanak keluarga bahwa mereka telah menyaksikan atraksi budaya itu.
Banyak kalangan mengharapkan agar tradisi itu dikemas dengan sungguh-sungguh dan profesional sehingga dapat menyedot perhatian wisatawan dan mampu mendunia.
"Adat tradisional yang mengandung nilai historis religius serta tidak ditemukan di daerah lainnya ini, harus dikemas dengan baik sehingga mampu mendunia," tegas Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu.
Menurut dia warisan budaya yang diturunkan para leluhur dan telah digalar sejak abad 16 itu, akan tetap hidup dan tidak lekang dimakan jaman.
Budaya bernilai historis ini perlu terus dipertahankan sebagai bagian dari khasanah budaya daerah Maluku maupun nasional, serta terus diperkenalkan melalui promosi hingga ke luar negeri, sehingga menarik perhatian wisatawan mancanegara untuk berbondong-bondong datang menyaksikannya," katanya.
Kepala Dinas Pariwisata Maluku, Benny Gaspersz, mengakui, atraksi budaya itu telah dimasukkan dalam kalender tahunan event dinas tersebut maupun Kementerian Negara Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf).
Pihaknya pun bergandengan tangan dengan berbagai pihak untuk mempromosikan atraksi budaya tersebut, sehingga mendapat tempat dan dikenal luas secara nasional maupun internasional, mengingat dampaknya tidak hanya mendatangkan devisa bagi daerah tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dua Desa ini itu.
"Tradisi adat pukul sapu saat ini telah menjadi salah satu lokomotif untuk menggerakkan sektor pariwisata Maluku meningkatkan arus kunjungan wisatawan dalam dan luar negeri, apalagi dampak khasanah budaya tradisional ini juga mampun menyatukan berbagai elemen masyarakat," katanya.
Sedangkan Sekretaris Desa Morella, Kadri Sasole dan salah seorang keturunan Kapitan Tulukabessy, Murrad Leikawa, mengakui, pihaknya selama dua tahun terakhir mengajak para fotografer yang tergabung dalam Maluku Photo Club (PMC) untuk ikut mempromosikannya kegiatan tersebut.
"Kami berharap dengan foto hasil jepretan para fotografer yang disebar luaskan melalui berbagai jejaring sosial maupun kelompok fotografer lainnya, akan berdampak menjadikan tradisi pukul sapu ini semakin mendunia di masa mendatang," ujar keduanya.
Memang butuh kerja keras semua pihak mempromosikan dan "menjual" tergolong ekstrim, atraktif dan menghibur ini, sehingga mampu mendunia tidak hanya untuk orang Maluku, tetapi menjadi milik semua masyarakat Indonesia dan dunia.