Ambon (Antara Maluku) - Aktivitas penambangan emas liar di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku kembali menelan korban jiwa, setelah enam orang dilaporkan meninggal dunia akibat menghirup gas beracun.
"Kami mendapatkan laporan warga bahwa ada enam penambang liar asal Cilacap dan Manado yang tewas saat berada dalam lubang galian akibat menghirup gas beracun," kata anggota komisi B DPRD Maluku, Thobyhend Sahureka di Ambon, Senin.
Lokasi Gunung Botak saat ini sudah tidak lagi berwarna hijau atau coklat tanah, tapi berubah jadi membiru karena banyaknya tenda dan itu berarti sekian ribu orang yang berada di daerah itu melakukan penggalian.
Menurut Sahureka, dampaknya adalah bermunculannya persoalan lingkungan maupun sosial dan akan sangat rawan terhadap penduduk lokal, sehingga perlu diambil tindakan-tindakan tegas terhadap para penambang yang punya kecenderungan merusak lingkungan dan juga meresahkan kondisi sosial masyarakat.
Tindakan tegas ini harus dilakukan oleh pemerintah provinsi, karena kalau Pemkab Buru sendiri sudah tidak mampu untuk melakukan itu bersama Polres Buru, maka Pemprov dan Polda Maluku harus mengambil tindakan penganaman.
"Seluruh masyarakat Indonesia berhak hidup di mana saja, tapi perlu ada peraturan-peraturan daerah yang bisa membatasi penduduk yang datang, sehingga Pemkab Buru bersama legislatif segera membuatnya sebagai dasar hukum dalam rangka memproteksi wilayah itu," katanya.
Anggota DPRD Maluku asal daerah pemilihan Kabupaten Buru dan Buru Selatan, Moerniyati Hentihu mengaku resah dengan kondisi keamanan di Pulau Buru saat ini yang rentang akibat tingginya angka kriminalitas.
"Keluarga saya di Namela, Ibu Kota Kabupaten Buru merasah resah dan tidak nyaman karena adanya upaya pembunuhan dan perampokan terhadap salah satu tetangga kami di sana," katanya.
Hal senada juga disampaikan anggota legislatif lainnya, Lutfi Sanaky yang mengatakan, akibat temuan potensi logam mulia di Pulau Buru, kehidupan masyarakat lokal termasuk pihak keluarganya tidak tenang.
"Tingkat inflasi di daerah itu jadi tidak terkendali dan harga-harga barang terus melambung dan berdampak pada penjualan tekat pesawat terbang dari Jakarta dan Surabaya menuju Ambon yang mencapai kisaran Rp3 juta," katanya.
Dua Ranperda
Anggota komisi B Lainnya, La Ode Salimin mengatakan, pihaknya selain mengagendakan peninjauan langsung ke lokasi penambangan emas Gunung Botak, juga akan mengajukan dua Ranperda inisiatif baru tentang masalah lingkungan dan Ranperda pengeloaan pertambangan umum.
"Dalam tahun ini komisi akan mengajukan dua ranperda itu terutama tentang masalah lingkungan dan mengantisipasi persoalan baru menyangkut terdeteksinya potensi-potensi pertambangan yang ada di Maluku, jadi komisi mencoba untuk menginisiasi ranperda dimaksud," katanya.
Proses penyusunan dua Ranperda ini juga sudah jalan karena komisi B telah membentuk timnya untuk bekerja, melakukan konsultasi ke Kementerian terkait serta studi banding ke daerah lain sehingga ditargetkan rampung dalam tahun ini.
Agenda ini disusun sebagai sebuah sikap tegas komisi terkait banyaknya surat masuk ke DPRD provinsi baik dari Pemkab Buru maupun elemen masyarakat yang mengeluhkan dampak negatif dari keberadaan emas di daerah itu.
Pihak komisi juga sudah mengundang mitra terkait minta penjelasan sejauh mana langkah yang diambil pemerintah provinsi, karena di Pulau Buru belum ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), tapi yang ada sekarang adalah para penambang liar.
"Aktivitas pernambangan emas tanpa izin di Pulau Buru belum masuk kategiri WPR karena ada aturan mainnya, dan keberadaan ribuan penambang dari berbagai daerah saat ini sudah sangat meresahkan," katanya.