Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Rabu, dibuka merosot karena sentimen risk-off di pasar terkait ancaman penghentian produksi minyak dari Libya.
Pada awal perdagangan Rabu pagi, rupiah turun 14 poin atau 0,09 persen menjadi Rp15.509 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp15.495 per dolar AS.
"Isu politik mulai mengkhawatirkan investor, terutama karena adanya ancaman penghentian produksi minyak dari Libya," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.
Selain itu, rupiah melemah akibat sentimen menguatnya data Durable Goods Order di Amerika Serikat (AS), yang diikuti meningkatnya tensi geopolitik di Timur Tengah.
Sentimen tersebut mendorong apresiasi dolar AS secara global. Sentimen risk-off juga turut memengaruhi pasar obligasi domestik, tercermin dari imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) yang meningkat 1 basis poin (bps) di seluruh tenor kemarin.
Volume perdagangan obligasi pemerintah pada Selasa tercatat sebesar Rp19,6 triliun, lebih tinggi dibandingkan volume perdagangan Senin sebesar Rp15,3 triliun.
Kepemilikan asing pada obligasi Pemerintah Indonesia turun sebesar Rp4,08 triliun menjadi Rp848 triliun atau 14,45 persen dari total outstanding pada 26 Agustus 2024.
Kepemilikan asing pada obligasi Pemerintah Indonesia turun sebesar Rp4,08 triliun menjadi Rp848 triliun atau 14,45 persen dari total outstanding pada 26 Agustus 2024.
Pemerintah mengadakan lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan berhasil menyerap Rp8 triliun dari penawaran masuk sebesar Rp23,89 triliun.
Josua memperkirakan rupiah akan berada di rentang Rp15.425 per dolar AS sampai dengan Rp15.525 per dolar AS pada hari ini.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Rupiah merosot karena sentimen "risk-off" di pasar