Jakarta (ANTARA) - Ada perdebatan yang cukup intens mengenai angka pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan Presiden Prabowo Subianto. Presiden Ke-8 RI ini mematok angka 8 persen untuk tahun ketiga atau keempat pemerintahannya, angka yang dianggap cukup fantastis.
Target itu Prabowo ucapkan saat menghadiri Qatar Economic Forum pada Mei lalu. Kala itu Prabowo masih menjabat Menteri Pertahanan (Menhan) pada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), namun sudah dinyatakan sebagai presiden terpilih untuk periode 2025--2029.
Dalam sesi wawancara dengan Haslinda Amin dari Bloomberg Television, ia menyatakan, “Saya sudah berbicara dengan para ahli dan mempelajari angka-angkanya. Saya yakin kami bisa dengan mudah melampaui 8 persen.”
Di satu sisi, keteguhan Prabowo dalam pernyataannya itu melecut optimisme untuk membawa perekonomian Indonesia ke progres yang lebih baik. Akan tetapi, di lain sisi, cukup menjadi pertanyaan mengenai kans untuk mewujudkan target tersebut.
Salah satu yang memicu kebimbangan terhadap target 8 persen adalah rekaman historis pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Mengacu pada data Bank Dunia, Indonesia hanya pernah mencapai pertumbuhan 8 persen sebanyak lima kali dalam 63 tahun (1961--2023). Rekaman terakhir Indonesia mencetak pertumbuhan 8 persen terjadi pada 29 tahun silam, tepatnya 1995, dengan angka 8,2 persen. Angkanya kemudian bergerak melandai, dengan rata-rata pertumbuhan 10 tahun terakhir ini konstan di kisaran 5 persen (di luar tahun yang terpukul karena pandemi). Tahun ini pun pertumbuhan ekonomi diperkirakan tak jauh dari level tersebut.
Sementara untuk 5 tahun ke depan, Dana Moneter Internasional (IMF) memilih angka 5,1 persen sebagai proyeksi mereka.
Pemerintah Indonesia, tentunya, bersikap optimistis. Kendati mengakui angka 8 persen bukan target yang mudah, jajaran menteri kabinet Prabowo merancang berbagai strategi agar bisa mengejar impian tersebut.
Sementara kalangan ekonom bersikap lebih realistis. Meski sebagian berpendapat angka 8 persen terlalu tinggi, mereka rajin memberikan rekomendasi untuk menggenjot perekonomian nasional.
Tantangan pertumbuhan
Di antara berbagai faktor pertumbuhan ekonomi, dua yang paling utama adalah konsumsi rumah tangga dan investasi. Keduanya berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB), yang masing-masing andil sebesar setengah dan hampir sepertiga porsi. Akan tetapi, baik konsumsi maupun investasi menghadapi tantangan di tengah perkembangan ekonomi beberapa waktu belakangan.
Tantangan konsumsi rumah tangga tak terlepas dari isu yang cukup panas dibicarakan: pelemahan daya beli masyarakat. Sinyal pelemahan ini makin kuat usai laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan terjadi deflasi beruntun sejak Mei 2024.
Deflasi memang bisa mengindikasikan tercukupinya pasokan sehingga harga terkendali. Namun, bila terjadi secara berturut-turut, ada kekhawatiran deflasi terjadi akibat ketidakmampuan masyarakat menjangkau harga pasar.
Indikasi lainnya tercermin dari penurunan kelas menengah (middle class). Dalam 5 tahun terakhir, jumlah kelompok ini turun sebanyak 9,48 juta orang.
Penentuan kelompok kelas mempertimbangkan pengeluaran per kapita per bulan. Kelas menengah berarti mencakup masyarakat yang membelanjakan uang sebanyak Rp2,04 juta hingga Rp9,91 juta per bulan untuk memenuhi kebutuhannya. Sementara kelas di bawahnya, yakni menuju kelas menengah (aspiring middle class), rentang belanjanya berada di kisaran Rp874 ribu hingga Rp2,04 juta per bulan.
Artinya, sebanyak 9,48 juta orang mengalami penurunan kemampuan belanja.
Yang menjadi persoalan, pelemahan daya beli masyarakat dapat menciptakan efek domino pada rantai perekonomian. Ketidakberdayaan masyarakat dalam berbelanja akan membuat permintaan melemah, yang kemudian berdampak pada aktivitas industri. Lesunya industri berpotensi menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Produksi yang turun menyebabkan pasokan terbatas sehingga memicu inflasi. Sementara menganggur dan harga barang yang tinggi akan makin menekan daya beli.
Kerentanan ekonomi pada akhirnya juga akan berefek terhadap investasi, ketika investor bisa jadi ragu untuk menanamkan modal di Indonesia.
Dari segi daya saing, Indonesia telah berhasil meningkatkan posisi dalam peringkat International Institute for Management Development (IMD). Indonesia sebelumnya berada di peringkat 34 dari 67, kemudian naik signifikan ke posisi 27.
Namun, secara kawasan, Indonesia masih kalah dengan Singapura (1) dan Thailand (25). Sejumlah investasi besar pun diambil oleh negara tetangga, Malaysia. Contohnya, investasi raksasa teknologi Apple dan Tesla.
Selain kondisi ekonomi yang telah dipaparkan sebelumnya, pemicu lain yang menentukan ketertarikan investor dalam menentukan tujuan investasi adalah alur birokrasi dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Sejumlah ekonom mengamini dua faktor ini masih menjadi penghambat aliran investasi dalam negeri.
Tantangan itu tercermin pada realisasi investasi periode Januari hingga September. Terjadi perlambatan sekitar 10,1 persen untuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan 12 persen untuk penanaman modal asing (PMA) antara realisasi tahun lalu dengan tahun ini (year-on-year/yoy).
Walhasil, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia berada pada level yang cukup tinggi, yakni level 6.
ICOR adalah nisbah yang menunjukkan efisiensi investasi suatu negara dalam menghasilkan output ekonomi, di mana makin rendah nilainya menunjukkan investasi yang makin efisien. Dengan nilai ICOR 6, maka bisa dibilang investasi yang dilakukan di Indonesia belum teroptimalkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
Celah pertumbuhan
Meski ada hambatan, bukan berarti sama sekali tak ada harapan pertumbuhan. Ekonom yang sangsi dengan target 8 persen pun tetap melihat adanya peluang pertumbuhan ekonomi nasional.
Secara umum, rekomendasi para ekonom berpusat pada industrialisasi dan reformasi birokrasi.
Industrialisasi menjadi bagian penting dari transformasi dengan menjadikan manufaktur sebagai motor penggerak utama ekonomi. Pasalnya, industrialisasi mampu memberikan efek domino, yang dalam konteks ini berupa perkembangan yang positif.
Aktivitas produksi yang tinggi menandakan bertambahnya kebutuhan SDM, yang berarti membuka peluang serapan tenaga kerja. Ini bisa menjadi salah satu solusi persoalan kelas menengah: dengan memberikan kesempatan kerja, masyarakat bisa memiliki pendapatan sehingga kemampuan belanja mereka pun meningkat.
Kelas menengah bukan satu-satunya kelompok yang bakal terdampak. Masyarakat dari kelompok kelas lainnya juga bisa memiliki kemampuan belanja yang lebih baik jika memiliki pekerjaan dan sumber penghasilan.
Pandangan itu yang diamini oleh ekonom senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini. Pemerintah perlu menghadirkan demokrasi ekonomi dalam langkah mengejar pertumbuhan ekonomi. Hal ini dilakukan dengan memberikan akses kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi dan memajukan industri.
Selain mendukung masyarakat, industrialisasi juga dapat menggerakkan berbagai sektor ekonomi, termasuk sektor primer dan jasa. Artinya, akan ada efek berganda (multiplier effect) yang muncul bila industrialisasi dilangsungkan.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyiapkan strategi industrialisasi terfokus agar target lebih jelas dan terukur. Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti merinci terdapat enam sektor yang menjadi target, di antaranya sektor berbasis sumber daya alam (SDA), industri kimia dan logam, industri barang konsumsi berkelanjutan, industri berbasis inovasi dan riset, industri berteknologi menengah tinggi, dan industri kreatif.
Untuk industri berbasis SDA, arahnya terkait dengan hilirisasi. Pada masa Jokowi, hilirisasi berpusat pada komoditas nikel, sedangkan Prabowo berencana memperluas cakupan hilirisasi. Terkait hal ini, Bappenas mengejar hilirisasi pada sektor agro (pertanian, perkebunan, dan kehutanan), tambang selain komoditas nikel, serta sumber daya laut, yang dianggap menjadi daya jual utama SDA Indonesia.
Ekonom keuangan dan praktisi pasar modal Hans Kwee pun mengamini bahwa hilirisasi bakal menciptakan sentimen positif di kalangan investor, ihwal efeknya yang dapat mengurangi deindustrialisasi dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja.
Namun, segala upaya itu harus diiringi dengan perbaikan kualitas birokrasi. Menyambung kasus Apple dan Tesla, Indonesia butuh berefleksi soal reformasi struktural. Banyak ekonom yang menyoroti urgensi ini, termasuk ekonom Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teuku Riefky dan ekonom Bright Institute Awalil Rizky. Reformasi birokrasi diharapkan dapat menciptakan iklim bisnis dan investasi yang lebih kondusif sehingga dapat menarik perhatian para investor.
Kembali ke target Prabowo, impiannya mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen bertujuan untuk mengeluarkan Indonesia dari perangkap negara pendapatan menengah atau middle income trap. Namun sebetulnya, berdasarkan perhitungan Bappenas, pertumbuhan pada level 6-7 persen yang dipertahankan secara konsisten hingga 2045 sudah cukup untuk membuat Indonesia keluar dari jebakan tersebut.
Tentu pertumbuhan yang lebih tinggi dapat mengakselerasi tercapainya impian itu. Akan tetapi, Awalil Rizky mengusulkan agar Pemerintah lebih berfokus pada kualitas pertumbuhan ekonomi, alih-alih angka pertumbuhannya.
Setelah mencapai kualitas pertumbuhan yang baik, baru Indonesia bisa naik level ke misi berikutnya, yakni mengejar pertumbuhan 8 persen.
Ikhtiar memajukan perekonomian tentu perlu mempertimbangkan pandangan dari berbagai sisi. Angka 8 persen yang dianggap tinggi pun bukan berarti mustahil untuk diwujudkan.
Dengan kehadiran diskursus yang multiperspektif ini, diharapkan dapat menjadi acuan Pemerintah untuk menemukan titik tengah bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga langkah yang diambil dapat memberikan dampak nyata bagi negara.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menemukan titik tengah antara angka dan kualitas pertumbuhan ekonomi