Ambon (ANTARA) - Akademisi Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon Maluku Dr Paulus Koritelu menyarankan pemerintah untuk membentuk tim mediasi konflik sebagai upaya meredam potensi konflik di daerah itu.
“Yang harus dilakukan pemerintah adalah yang pertama membentuk tim mediasi konflik pada setiap kasus yang terjadi, jadi tidak bisa satu tim mediasi konflik menangani banyak konflik yang ada,” kata dia di Ambon, Selasa.
Secara konkret tim mediasi konflik tersebut harus berasal dari unsur desa atau kelompok yang sedang berkonflik, pasalnya kata dia fragmentasi kultural tak bisa dilepas pisahkan dalam konteks resolusi konflik di Maluku.
“Pemerintah bisa saja menyerukan pesan-pesan perdamaian, tapi apakah secara kultural hal itu bisa didengarkan oleh masyarakat adat?. Oleh sebab itu tim mediasi konflik itu harus diisi oleh semua pihak, terutama dari pihak yang berkonflik,” ujarnya.
Wakil Dekan FISIP Unpatti itu mengatakan, pembentukan tim mediasi konflik ini tentunya membutuhkan anggaran yang tak sedikit, akan tetapi ia menambahkan eksistensi kehadiran pemerintah adalah untuk memaksimalkan pelayan publik, salah satunya menjamin kesejahteraan masyarakatnya.
Selanjutnya, sosiolog itu juga mengemukakan, pemerintah harus melakukan forum dialog terbuka yang bersifat terpimpin antar dua kelompok atau lebih yang sedang berkonflik.
“Misalnya antar dua desa, undang perwakilan desa dari unsur tokoh masyarakat kemudian kedua pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya, tentunya harus bisa dipastikan kalau suasana dialog yang dilakukan tetap dingin. Jadi pihak ketiga harus benar-benar netral dan adil serta tidak memihak,” ujarnya.
Selain itu lanjutnya, pemerintah juga harus membuat program pemulihan relasi sosial. Dalam konteks resolusi konflik, program ini penting untuk dilakukan. Dalam beberapa situasi konflik, bisa jadi orang yang berkonflik ini tidak saling mengenal, tetapi hal itu harus diubah dari sekedar interaksi yang bersifat sementara pada proses relasi yang berjangka panjang.
Hal ini tentunya membutuhkan kecermatan, keseriusan disertai dengan kerelaan untuk mengalokasikan energi psikologis, finansial dan energi sosial.
“Kadang pemerintah bosan dengan pendekatan itu, padahal sebenarnya itu yang paling substansial. Karena orang akan melunak ketika dia yang sudah menjadi pemicu konflik namun diperlakukan dengan baik, dan dianggap penting, dan didengarkan sehingga pasti menimbulkan relasi yang kuat,” jelasnya.
Dan yang terakhir resolusi konflik juga tak terlepas dari pendekatan spiritual untuk saling mengasihi satu sama lain.
“Kalau empat hal itu bisa dilakukan secara baik, maka tidak ada alasan untuk Maluku tidak damai,” ujarnya.