Ambon, 2/10 (Antara Maluku) - Anggota komisi A DPRD Maluku Herman Hattu mengatakan perlunya menghindari konflik antara masyarakat dengan pemerintah dan korporasi akibat penggunaan lahan untuk kepentingan mengelola hasil tambang seperti minyak dan gas (Migas).
"Konflik lahan untuk kepentingan korporasi migas memiliki cerita panjang dan berdarah-darah di Tanah Air," kata Herman, di Ambon, Jumat.
Guna menghindari persoalan seperti ini sejak dini, pemerintah dan korporasi migas seharusnya duduk bersama dengan masyarakat di Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) terkait rencana pembangunan sarana pendukung untuk pengoperasian gas Blok Masela.
Pertimbangannya, pembangunan sarana pendukung ini tentunya akan menggunakan lahan milik masyarakat setempat.
Menurut dia, pemerintah dan para pihak yang membutuhkan lahan untuk kepentingan bisnis dengan memperoleh laba dapat duduk bersama membicarakan rencana-rencana partisipasi yang dapat dilakukan masyarakat atas lahan tersebut.
"Jadi, ada alternatif mencegah konflik yang digunakan untuk memastikan pemerintah tidak ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu yang mengatasnamakan negara dengan menerapkan pasal kepentingan umum saat membebaskan lahan," tandas Herman.
Sektor migas ini selain menimbulkan konflik lahan, juga menjadi sasaran kejahatan tindak pidana korupsi terbesar.
Dia mencontohkan Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) menyebutkan korupsi terbesar di Indonesia berasal dari sektor industri migas dan rakyat hanya menjadi penonton dan harus rela berkorban demi kepentingan korporasi besar atas nama negara.
"Mari lihat kasus-kasus kejahatan korporasi di sektor tambang dan migas di beberapa tempat lainnya. Misalnya kasus Freeport, Sape, Mandailing Natal, Batang Toru, Bangka, PT. Semen Indonesia di Rembang, hingga penembakan warga di Wawoni," ujarnya.
Dia mengaku, persoalan yang sama terjadi pada masyarakat Maluku dan Maluku Utara. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara melaporkan bahwa Pemprov setempat dengan seenaknya memberikan izin tambang di atas wilayah lahan masyarakat adat.
"Hal yang sama bukannya tidak mungkin akan terjadi di wilayah Maluku yang kaya akan sumberdaya alam sehingga perlu dihindari, sebab kenyataannya konflik jelas merugikan masyarakat," tegas Herman Hattu.
Sebelumnya, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Zulkifli Hasan, mengemukakan, ada sekitar 700 - 800 konflik agraria di Indonesia yang akar masalahnya berasal dari pembebasan lahan.