Ambon, 22/7 (Antara Maluku) - 70 ilmuwan Indonesia dan Amerika Serikat mendiskusikan masalah perilaku manusia dan kemananan siber (Human Behavior and Cybersecurity) di 7th Indonesian-American Kavli Frontiers of Science (KFoS) Symposium, Jumat malam.
Diskusi yang dilakukan pada sesi terakhir seminar KFoS tersebut, menghadirkan Anthony Vance (Universitas Brigham Young), Endah Triastuti (Universitas Indonesia), dan Anna Cinzia Squicciarini (Universitas Penn State) sebagai pembicara.
Anthony Vance sebagai pembicara pengantar dalam sesi itu mengatakan gangguan kemamanan akibat serangan siber terjadi pada berbagai negara di belahan dunia, dan memberikan dampak yang cukup besar.
Ia mencontohkan serangan siber pada lembaga pertahanan dan kemanan nasional Amerika Serikat oleh situs Wikileaks menyebabkan kegemparan besar. Situs itu telah membeberkan sejumlah informasi penting negara.
Serangan siber yang tak kalah menggemparkan adalah yang pernah terjadi di Ukraina dan menyebar secara internasional.
"Kita tidak bisa mengiliminasi bahaya, tapi bisa memitigasinya," kata Vance.
Melanjutkan Vance, Endah Triastuti dalam paparannya mengenai "Everyday Security Practices" menyatakan, Indonesia adalah salah satu negara dengan pengguna media sosial terbanyak di dunia, seperti Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, LINE dan lainnya.
Kasus serangan siber di Indonesia lebih banyak terjadi pada pengguna sosial media, salah satunya adalah persekusi yang dilakukan secara sistematis oleh sekelompok orang kepada orang per orangan.
Kelompok yang menamai diri mereka sebagai Tentara Siber Muslim, mengawasi setiap orang baik secara online maupun offline selama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 berlangsung.
"Tentara Siber Muslim mengawasi internet selama Pilkada berlangsung. Mereka mencoba melacak, mencari alamat rumah dan mendatangimu secara terang-terangan," katanya.
Endah memisalkan, kasus persekusi yang menimpa seorang anak di bawah umur, Mario (15) karena memuat status yang dinilai menghina di laman Facebook miliknya. Ia kemudian diserang oleh sekelompok orang dan mengalami penganiayaan.
Hal yang sama juga terjadi pada seorang dokter bernama Fiera Lovita. Karena status di akun Facebook-nya, ia diserang oleh sekelompok orang dan dipaksa meminta maaf, bahkan disuruh untuk menandatangani surat pernyataan yang distempel dengan meterai.
Karena trauma, dokter yang sebelumnya bertugas di RSUD Solok, Sumatera Barat, terpaksa pindah ke Jakarta.
"Mereka menyuruhnya untuk mendatangani surat pernyataan untuk tidak lagi melakukan hal yang sama. Surat itu dibuat seperti dokumen resmi dengan stempel meterai," ujar Endah.
Anna Cinzia Squicciarini menyatakan pengguna media sosial harus berhati-hati dalam memuat berbagai hal terkait kehidupan pribadinya di media sosial, karena keterbukaan informasi memungkinan setiap orang mengakses informasi penting orang lain.
Dalam paparannya mengenai "Information Disclosure and Privacy Attitudes of Online Users, menurut dia, keterbukaan informasi harus dipandang secara bijaksana.
Pengguna media sosial harus bisa membedakan informasi yang bisa dan tidak dibagikan kepada publik melalui media sosial, agar keamanan pribadinya tetap terjaga.
"Untuk memuat gambar pribadi secara online harus diperhatikan dengan baik, misalnya ada area bagian tubuh yang seharusnya diblur," kata Squicciarini.