Ambon, 26/12 (Antaranews Maluku) - Aparat penegak hukum di Provinsi Maluku, baik dari unsur TNI maupun Polri sepanjang tahun 2017 dibuat sibuk dengan proses penanganan perkara pelaku yang tertangkap tangan melakukan pembelian, pengumpulan, hingga pengiriman batu cinnabar ke luar daerah.
Meski pun belum diketahui secara pasti, bisnis gelap batu cinnabar yang merupakan bahan dasar utama membuat air raksa ini dimulai sejak kapan.
Namun terungkapnya beberapa upaya pembelian, pengumpulan, hingga pengiriman ke luar daerah melalui jalur laut dengan jasa perusahaan peti kemas mengindikasikan kalau penjualan batu cinnabar sudah cukup lama digeluti, dan pengirimannya sampai ke Jakarta dan Surabaya.
Tersebarnya berita tentang penemuan lokasi-lokasi baru mengandung logam, mulai atau emas pada beberapa daerah di Indonesia, seperti Aceh, Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua atau Papua Barat memicu tingginya kebutuhan air raksa untuk proses pengolahan emas, baik legal maupun ilegal.
Kawasan Gunung Botak di Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, misalnya, telah menarik puluhan ribu warga dari berbagai pelosok Tanah Air yang berlomba-lomba ke sana untuk mendulang emas secara ilegal.
Tingginya kebutuhan akan air raksa dan didukung munculnya tambang batu cinnabar di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) membuka peluang baru bagi warga di sekitar Desa Iha-Luhu dan sekitarnya mendadak beralih profesi menjadi penambang cinnabar.
Penambangan batu cinnabar ini dilakukan secara terbuka oleh warga walaupun tidak ada izin dari pemerintah, karena calon pembeli yang memesan juga mengambilnya dengan harga yang dirasa cukup ekonomis oleh warga di kisaran Rp50.000 hingga Rp100.000 per kilogram.
Harga beli seperti itu hanyalah standar yang dipakai para pembeli dan pengumpul, tetapi harga jual di pasaran sesungguhnya lebih besar dan mendapatkan keuntungan berlipat ganda.
Lihat saja Chaerul Efendi Nasution, oknum pengusaha yang datang dari Jakarta dengan uang miliaran rupiah hanya untuk membeli batu cinnabar lalu dikirimkan ke Pulau Jawa.
"Pengiriman batu cinnabar menggunakan kontainer yang dilakukan Direktur Operasi PT. Roda Tiga Konsultan di Jakarta bersama rekannya Surya yang membawa Rp500 juta ini sudah dilakukan sebanyak empat kali," kata jaksa penuntut umum Kejati Maluku Awaluddin dalam persidangan di Pengadilan Negeri Ambon.
Perbuatan terdakwa melakukan pembelian batu cinnabar dan mengirimnya ke Jakarta menggunakan jasa perusahaan peti kemas PT. Tanto sebanyak empat kali, dan yang terakhir sebanyak 324 karung dan dimasukkan dalam peti kemas yang ditangkap polisi.
Bisnis gelap ini pun menggunakan orang-orang tertentu untuk memuluskan proses pengiriman material dari Kabupaten SBB ke Pulau Ambon lalu diangkut ke peti kemas di Pelabuhan Yos Sudarso Ambon.
Fakta yang muncul dalam persidangan dipimpin ketua majelis hakim Sofyan Parerungan didampingi RA Didi Ismiatun dan S. Pujiono sebagai hakim anggota menunjukan adanya keterlabatan oknum aparat serta oknum pegawai perusahaan jasa peti kemas sendiri.
Misalnya saja nama Lukman Toyib yang merupakan seorang oknum anggota Marinir disebut-sebut saksi Fredy Luther dalam persidangan yang membayar biaya sewa mobil truk mengangkut ratusan karung cinnabar dari Desa Asilulu untuk dikirim ke Jakarta.
"Setelah karung berisi cinnabar dibongkar dari speedboat dan dinaikkan ke mobil truk, Lukman Toyib yang melakukan penghitungan dan membayar sewa mobil sebesar Rp1,5 juta," kata saksi.
Awalnya saksi berbelit-belit dalam memberikan keterangan, namun setelah diingatkan oleh majelis hakim bahwa mereka sudah disumpah dan keterangannya ada dalam BAP polisi, maka saksi akhirnya mau terbuka.
Menurut saksi Fredy, mobil truk yang dikemudikannya membawah 108 karung cinnabar, sama dengan jumlah material yang diangkut saksi Johanis Matorin.
Lukman Toyib yang menjemput cinnabar dari speedboat dan menyewa tiga mobil truk untuk mengangkutnya ke peti kemas di Pelabuhan Yos Sudarso Ambon sekaligus melakukan pengawalan.
Saksi lainnya atas nama Amar Bazirai yang merupakan karyawan PT. Tanto diminta terdakwa Husein Parera menyediakan satu kontainer kosong untuk mengangkut material campuran, namun saat ditahan polisi baru mengetahui kalau barang tersebut adalah cinnabar.
Sedangkan Ricky Pesiwarussa dari Reskrimum Polda Maluku menjelaskan penangkapan berawal dari adanya informasi yang diterima kemudian dilakukan pemeriksaan dan menemukan sejumlah saksi serta barang bukti.
Pengiriman cinnabar melalui laut itu tidak sesuai SOP dan tidak ada izin sehingga terdakwa dijerat melanggar pasal 158 UU nomor 4 tahun 2009 tentang minerba juncto pasal 55 ayat (1) KUH Pidana.
Langgar UU Minerba
Perbuatan membeli, mengumpulkan, mengirim, atau melakukan pengolahan sendiri dengan cara menyuling yang dilakukan para pebisnis gelap batu cinnabar ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Hanya saja, yang sudah diproses hukum oleh polisi karena melakukan penangkapan atau pun yang diringkus aparat TNI dan menjalani proses persidangan di PN Ambon umumnya merupakan para pembeli dan pengumpul.
Sedangkan masyarakat yang terlibat langsung dalam proses penambangan belum ada yang diseret ke meja hijau.
Lihat saja Hendarto Nau, Muhammad Ibrahim Syahrulah, bersama La Anto, tiga terdakwa pengolah batu cinnabar menjadi air raksa tanpa mengantongi izin dari Dinas Pertambangan dan Energi divonis bervariasi oleh majelis hakim, antara satu hingga 3,5 tahun penjara.
"Menyatakan terdakwa Hendarto Nau terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara serta denda Rp300 juta subsider dua bulan kurungan," kata majelis ketua hakim PN Ambon, Mathius dalam amar putusannya.
Sedangkan terdakwa Muhammad Ibrahim Syahrulah, bersama La Anto masing-masing diganjar 1,5 tahun dan sembilan bulan penjara dan keduanya dihukum membayar denda Rp300 juta subsider dua bulan kurungan.
Putusan majelis hakim juga lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Ambon, Lilia Heluth yang dalam persidangan sebelumnya meminta terdakwa Hendarto divonis enam tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan.
Sementara terdakwa Muhammad Ibrahim Syahrulah dituntut tiga tahun penjara dan rekannya La Anto satu penjara serta denda Rp300 juta.
Para terdakwa ini awalnya diringkus aparat Polres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease bersama Den Intel Kodam XVI/Pattimura Ambon pada bulan April 2017 ketika sedang melakukan aktivitas penyulingan air raksa di Dusun Ahuru, Desa Batumerah, Kecamatan Sirimau (Kota Ambon).
Bahan baku pembuatan air raksa berupa batu cinnabar ini didatangkan dari Kabupaten SBB melalui jalan laut dan dibawa ke salah satu rumah warga di Dusun Ahuru kemudian diproses menjadi air raksa.
Menurut Sandra Labobar dari Dinas ESDM Provinsi Maluku yang dihadirkan JPU sebagai saksi ahli menjelaskan, proses penyulingan air raksa dengan menggunakan bahan dasar batu cinnabar sangatlah berbahaya bagi kesehatan manusia.
Sehingga proses penyulingannya tidak bisa dikerjakan dengan bebas oleh masyarakat biasa karena penguapan yang terjadi bisa berakibat fatal dan harus ada izin dari pemerintah.
Meski sudah ada sejumlah pihak yang ditangkap dan menjalani proses hukum akibat terlibat kasus bisnis gelap batu cinnabar, namun Dit Reskrimsus Polda Maluku sejak awal Desember 2017 masih saja meringkus empat tersangka baru.
Direktur Reskrimum Polda setempat AKBP Firman Nainggolan mengakui kalau pihaknya masih melakukan pengembangan penyidikan terhadap empat tersangka baru tersebut.
"Kalau dari pengembangan penyidikan sementara terhadap empat tersangka belum ditemukan adanya keterlibatan jaringan internasional dalam upaya penyelundupan delapan ton batu cinnabar ke Pulau Batam," kata Firman Nainggolan.
Para tersangka ini sudah ditahan beserta barang bukti batu cinnabar yang telah dihaluskan menjadi pasir lalu dikemas dalam beberapa karung plastik lalu disembunyikan di pelabuhan perikanan ikan.
"Polisi masih terus melakukan pengembangan pemeriksaan teradap empat tersangka yang telah ditahan sekaligus guna melengkapi berkas dan diserahkan ke jaksa," ujarnya.
Mencari Solusi
Maraknya aktivitas penambangan hingga penjualan dan pengiriman batu cinnabar dari Kabupaten SBB ke luar daerah membuat pemerintah pusat dan daerah merasa prihatin.
Karena di satu sisi, bisnis penambangan batu cinnabar ilegal yang digeluti warga setidaknya membawa manfaat ekonomis bagi mereka, namun masalah kerusakan lingkungan dan kesehatan juga menjadi ancaman dari sisi lainnya.
Sehingga Pemprov Maluku melalui Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral masih berupaya mencari solusi yang tepat guna membantu para penambang batu cinnabar secara ilegal.
Kadis ESDM Maluku, Martha Nanlohy menuturkan, sejak tanggal 25 November 2017 mereka bersama tim Menkopolhukam, Menko Kemaritiman, Seskab, Biro Hukum, dan Biro Lingkungan Hidup Pemprov langsung turun ke lapangan, dan di sana warga bersedia menutup tambangnya dengan syarat harus ada solusi.
Penjelasan Martha juga telah disampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi B DPRD Maluku beberapa waktu lalu.
Melalui Maklumat Gunernur, Kapolda, dan Pangdam, sehingga lokasi penambangan batu cinnabar ini sudah harus ditutup karena sesuai Instruksi Presiden Nomor 11 tahun 2017.
Pemda juga sudah berbicara dengan para penambangan yang ada kalau bisa mereka turun dengan kesadaran sendiri dan sukarela maupun persuasif meninggalkan tempat itu.
Bila akhirnya penambangan tidak mau turun juga maka akan dilakukan koordinasi dengan forkompinda yang hadir bersama-sama untuk melakukan penertiban.
Dia mengakui kalau sudah ada beberapa BUMN yang mau membantu mereka dari sektor perikanan dimana warga menangkap ikan dan yang beli adalah BUMN, begitu juga di sektor pertanian karena beberapa orang di sana yang sudah bagus mau menerima apa yang disarankan pemerintah.
Hanya saja di Desa Iha Luhu ini setiap hari ada yang datang untuk membeli cinnabar dan masyarakat mau menjual, bahkan warga setempat menyimpan sinabar di dalam rumah mereka, terutama di bawah tempat tidur karena takut diswiping petugas.
"Makanya kami sudah arahkan kalau bisa jangan disimpan di dalam rumah karena sangat berbahaya untuk kesehatan," tandasnya.