Ambon, 10/4 (Antaranews Maluku) - Akademisi dari Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Jemmy Pietersz menyatakan naskah Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) di Ambon hendaknya tidak hanya menyalin dari daerah lain.
Hal tersebut disampaikan Jemmy Pietersz dalam diskusi khusus mendorong percepatan penyusunan naskah Ranperda tentang Ambon KLA, yang digelar oleh Yayasan Arika Mahina melalui Program Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulan Kemiskinan (MAMPU), Senin.
"Saya kira yang paling penting harus diperhatikan, selain hal-hal mendasar yang berkaitan dengan pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak adalah jangan asal "copy-paste" dari Perda yang sudah dibuat oleh daerah-daerah lain yang sudah KLA," katanya.
Selain akademisi, Jemmy merupakan seorang konsultan hukum yang sering terlibat dengan isu-isu perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak di Ambon.
Menurut dia, dari segi sosial budaya, karakteristik masyarakat Ambon sangat berbeda dengan daerah lain yang sudah KLA, seperti Surabaya, Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menyalin isi Perda dari daerah-daerah tersebut akan menghilangkan esensi dan tujuan utama perlunya Perda KLA bagi anak-anak di Kota Ambon.
Naskah akademik, kata Jemmy, hendaknya berasal dari hasil penelitian dan pengkajian hukum, atau hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dalam suatu Ranperda, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
"Pentingnya naskah akademis adalah kolaborasi pakar ilmu hukum dan ilmu lainnya, kehidupan masyarakat diatur terumus secara ilmiah, dan menjadi bandul penyeimbang karakter Perda yang otonom dan resposif," ujarnya.
Jika dilihat dari fungsinya, kata dia lagi, naskah akademik menjadi bahan awal yang memuat gagasan-gagasan tentang urgensi, pendekatan, ruang lingkup dan materi muatan suatu Perda, juga sebagai bahan pertimbangan dan bahan dasar yang dipergunakan dalam prakarsa dan penyusunan Perda.
Penyusunannya pun harus memperhatikan "apa, kenapa, kapan, dimana, siapa dan bagaimana", karena hal itu akan menentukan batasan, konsep, defenisi, konstruksi hubungan hukum dan kausal, teori-teori penunjang dan lainnya.
Bab evaluasi dan analisisnya harus mengacu pada peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Kemudian UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah.
Selain itu, landasan filosofisnya juga "rechtsidee", yakni untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya, dan memenuhi nilai-nilai Pancasila, religius, kemanusiaan, nasionalis, demokrasi dan kedaulatan rakyat, juga keadilan.
Sedangkan landasan sosiologisnya didasarkan pada penerimaan masyarakat tempat peraturan perundang-undangan berlaku, tidak disebabkan faktor kekuasaan yang lebih menekankan aspek pemaksaan dari penguasa, dan memperhatikan kebutuhan, kondisi dan kekayaan masyarakat.
"Landasan yuridis naskah akademik adalah peraturan sebelumnya sudah "out of date" atau tidak memadai dan belum ada peraturan, jadi peraturan yang akan dibuat ini akan mengatasi permasalahan hukum yang ada," jelas Jemmy.