Ambon (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Maluku melakukan penghentian penuntutan perkara penganiayaan melalui mekanisme keadilan restoratif setelah menerima usulan dari Kejaksaan Negeri Maluku Tengah.
Penghentian perkara tersebut dilakukan oleh Wakajati Maluku Jefferdian didampingi Aspidum Yunardi usai menerima usulan penghentian penuntutan dari Kejari Maluku Tengah.
"Perkara tersebut melibatkan satu tersangka berinisial AI alias Toni," kata Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku Ardy di Ambon, Jumat.
Raja Negeri Layeni, Roy Marthen Tewernussa yang merupakan korban kekerasan oleh tersangka Toni akibat kesalahpahaman mengakibatkan keduanya cekcok hingga terjadi penganiayaan.
Perkara ini kemudian dilanjutkan ke Polsek Waipia, Polres Maluku Tengah untuk ditindak lanjuti proses hukumnya berdasarkan laporan pengaduan Raja Negeri Layeni selaku korban.
Namun, setelah perkara tersebut dilimpahkan ke Kejari Malteng maka tim Restorasi Justice kejari setempat melakukan upaya perdamaian bagi kedua belah pihak yang berlokasi di Gereja Baptis jalan Waipia.
Upaya perdamaian ini dihadiri Ketrina Jaso selaku istri tersangka, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama Pendeta Elisa Serworwora serta saksi korban.
Selanjutnya Tim Restorasi Justice Kejari Malteng yang telah menghadirkan berbagai pihak akhirnya membuahkan hasil yakni perdamaian tanpa adanya persyaratan.
Raja Negeri Layeni selaku korban kini telah memaafkan tersangka tanpa meminta ganti rugi apa pun dan disaksikan oleh Kasi Pidum Fitria Tuahuns selaku jaksa fasilitator, penyidik kepolisian serta keluarga dan masyarakat di Gereja Baptis Waipia.
Menindak lanjuti hasil perdamaian dimaksud, Kajari Malteng Nur Akhirman didampingi Kasi Pidum Fitria Tuahuns serta jaksa fungsional melalui sarana Video Conference mengajukan permohonan persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Penghentian penuntutan dalam perkara penganiayaan Pasal 351 ayat (1) KUHP tersebut melalui Kejati Maluku ke Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Asep Nana Mulyana bersama jajaran Tim Restorative Justicenya telah mempertimbangkan usulan penghentian penuntutan perkara dimaksud.
Persyaratan perdamaian dan penerapan Pasal 5 ayat (1) yang tertuang di dalamnya tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana dan ancaman pidana penjara di bawah lima tahun serta nilai kerugian tidak lebih dari Rp 2.500.000.
Sehingga Tim Restoratif Justice pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah bersepakat menyetujui untuk dilakukan Penghentian Penuntutan dalam perkara tersebut berdasarkan Keadilan Restoratif.