Ambon, 15/5 (Antaranews Maluku) - Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Maluku, Zeth Sahuburua menegaskan, semangat perjuangan pahlawan nasional asal Maluku, Thomas Matulessy yang berjuluk Kapitan Pattimura harus menginspirasi sekaligus menjadi simbol bagi orang Maluku untuk melawan segala bentuk ketidakladilan dan penindasan.
"Perjuangan Pattimura maupun pejuang lainnya melawan kekuasaan dan monopoli kolonialisme yang menyengsarakan atau memiskinkan rakyat, harus menjiwai dan menyemangati masyarakat Maluku yang tidak gentar oleh tantangan apa pun serta tidak mundur untuk membela harga dirinya," ujar Zeth saat memimpin peringatan ke-201 perjuangan Pattimura yang dipusatkan di Lapangan Merdeka, Pulau Saparua, kabupaten Maluku Tengah, Selasa.
Menurutnya, jiwa dan semangat perjuangan Pattimura membuktikan bahwa harus ada keberanian untuk membangun keadilan, kejujuran, cinta kasih, perdamaian, dan hidup orang basudara (bersaudara).
Dia menegaskan, pernyataan Proklamator sekaligus Presiden pertama RI, Soekarno bahwa Indonesia tanpa Maluku bukanlah Indonesia, merupakan bentuk pengakuan akan pentingnya provinsi berjuluk Seribu Pulau tersebut.
"Karena itu saya mengimbau berbagai komponen bangsa di Maluku untuk tidak lagi direduksi oleh pikiran-pikiran yang menghambat kemajuan di Maluku," tandasnya.
Warga Maluku diminta menjadi agen perdamaian dan cinta akan kemanusiaan atau persaudaraan mengingat nasionalisme yang diperjuangkan Pattimura adalah kemajemukan yang menghidupkan dan memerdekakan bangsa dan negara.
Zeth juga menyebutkan nasionalisme Pattimura adalah refleksi seorang Kapitan atau Panglima Perang yang membela rakyat dan negerinya dari rampasan pihak asing. "Karena itu pemimpin yang besar di tanah Maluku adalah pemimpin yang menjadikan rakyatnya kaya dari hasil tanah, laut, hutan dan segala yang ada di perut bumi," tandasnya.
Dia berharap masyarakat juga dapat menjaga stabilitas keamanan menjelang pesta demokrasi di Maluku, Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual, dengan membangun persaudaraan yang rukun dan harmonis agar lahir pemimpin yang mampu memajukan dan menyejahterakan masyarakat di provinsi tersebut.
Prosesi
Sehari jelang puncak acara peringatan HUT Pattimura, dilakukan prosesi pengambilan api obor Pattimura di Gunung Saniri oleh para Para Latupati (pimpinan adat) se-Pulau Saparua
Prosesi pembuatan dan pengambilan api di puncak Gunung Saniri dimulai siang hari, dan berakhir dengan diiringi tarian cakalele oleh ratusan pemuda Negeri Tuhaha. Api obor Pattimura kemudian diestafetkan melewati sejumlah negeri di pulau Saparua dan berakhir di Pantai Waisisil, menjadi salah satu tempat terjadinya perang Pattimura pada tahun 1817.
Para raja dan Kepala adat yang mengikuti prosesi mengenakan pakaian tradisional yang didominasi warna merah dan hitam. Mereka juga membawa parang dan salawaku (tameng) sebagai lambang heroisme dan keberanian.
Pengambilan api di puncak Gunung Saniri yang disaksikan ratusan warga tersebut untuk mengingatkan kembali kepada para generasi muda akan semangat dan heroisme Kapitan Pattimura bersama para pejuang lainnya, saat pertemuan akbar untuk menyusun strategi penyerangan terhadap penjajah pada 1817.
Sebelum prosesi, para ahli waris bersama para Latupati menggelar ritual adat di rumah bekas tempat tinggal keluarga Pattimura di Desa Tuhaha. Di rumah tersebut tersimpan pakaian serta parang dan salawaku yang pernah digunakan Pattimura saat memimpin perang melawan penjajah.
Prosesi untuk mendapatkan "unar" atau titik api yang akan digunakan menyulut obor induk hanya bisa dilakukan oleh keturunan Pattimura, yakni dari Marga Matakena, Tatipikalawan, dan Polattu.
Api itu diperoleh melalui gesekan dua bilah bambu, di mana pada bagian bawah salah satu bambu telah diletakkan serabut kelapa yang mudah terbakar. Panas yang dihasilkan dari gesekan bambu menyulut munculnya titik api dan membakar serabut kelapa tersebut.
Para latupati juga membacakan 17 butir ikrar dan sumpah Kapitan Pattimura bersama kawan-kawannya untuk berperang melawan penjajahan Belanda.
Ikrar tersebut, isinya memperjuangkan kembali status sosial, ekonomi, hak asasi manusia serta agama, dan hukum masyarakat Pulau Saparua dan Maluku yang telah dirampas oleh kolonial Belanda.
Obor Pattimura yang telah diarak secara estafet oleh para pemuda dari masing-masing kampung tersebut diserahkan kepada Upulatu (pemimpin) Maluku Tengah, Abua Tuasikal dan diteruskan kepada Upulatu Maluku, Zeth Sahubura dan kemudian menyulut obor induk di Lapangan Merdeka Saparua, saat puncak peringatan.
Lapangan itu letaknya bersebelahan dengan Benteng Duurstede milik Belanda pada masa lalu yang kini menjadi saksi bisu heroisme perang Kapitan Pattimura bersama para pahlawan asal Maluku pada 14 Mei 1817.