Jakarta (ANTARA) - Berpolitik pada dasarnya berjuang bersama-sama untuk melahirkan kebaikan bersama, sekali pun dalam pola permainannya atau penyelenggaraannya, menggunakan sistem menang-kalah sebagaimana yang diperlihatkan dalam hasil setiap pemilihan umum.
Dalam demokrasi, politisi bertanding berebut kekuasaan lewat pemilihan umum. Sang pemenang menjadi pemimpin pemerintahan dan yang kalah bisa jadi mengambil peran sebagai pemimpin oposisi.
Ketika hasil pemilu diumumkan, menjadi pemenang jelas menggembirakan dan kalah pasti menyakitkan. Namun, rasa sakit itu lebih berkaitan dengan perasaan gengsi, harga diri, yang dengan mudah diatasi oleh para politisi yang sudah menyadari bahwa konsekwensi bertanding adalah antara menang dan kalah.
Para politisi yang mencapai tangga tertinggi perpolitikan nasional jelaslah kaum berada secara finansial. Itu sebabnya, kekalahan dalam pencapresan sama sekali tak menyangkut kebangkrutan finansial yang menjadikan mereka terpuruk jatuh miskin merana terlunta-lunta.
Hal itu berbeda dengan kekalahan yang dialami para penjudi, yang kemungkinan besar menjadi jatuh miskin setelah dewi fortuna tak berpihak kepadanya. Bagi kalangan penjudi yang bangkrut karena kalah, problem eksistensial untuk berdamai dengan dirinya, dalam mengatasi kekalahan yang menyakitkan, tak banyak dampaknya bagi publik.
Ketaksanggupan mengatasi perasaan kalah yang dialami politisi jelas punya dampak yang besar ke ranah publik. Di sinilah poin pentingnya seruan agar pascapemilu, para kontestan segera melakukan rekonsiliasi, menjalin kerukunan, bersatu kembali untuk membangun bangsa dan negara secara bersama-sama.
Artinya, begitu hasil penghitungan suara pemilu diumumkan, perseteruan politis ideologis yang memecah belah masing-masing pendukung sudah harus diakhiri.
Sang pemenang yang menduduki kursi kepala pemerintahan dan kepala negara dituntut menjalankan program-programnya untuk memakmurkan rakyat secara adil. Sang pecundang menjadi pemimpin kubu di luar kubu partai politik pendukung pemerintah.
Politisi yang gagal menjadi presiden punya peran yang tak kalah pentingnya dengan peran presiden karena dia menjadi pengkritik, pengingat, pengawal dan pelurus jalannya pemerintahan yang dinilai melenceng dari program kerja yang dijanjikan.
Demokrasi jelas sangat membutuhkan pemimpin oposisi yang kuat, yang sanggup memaksa pemerintah berlaku adil, jujur dan bersih. Hal ini mengandaikan bahwa pemimpin oposisi adalah sosok politisi yang punya integritas tinggi, yang sadar bahwa peran politisnya sangat dibutuhkan untuk membawa masyarakat semakin sejahtera, tak ada yang dipinggirkan, diperlakukan secara zalim oleh politisi yang berkuasa.
Namun, elite politik yang kalah dalam perebutan kuasa, yang tak memperlihatkan kebesaran jiwanya untuk menerima kekalahannya bisa lupa diri menjadi politisi yang ambisius, menghalalkan segala cara untuk menebus kekalahannya dalam pemilu.
Ketidakmampuan politisi untuk berdamai dengan diri atau ego ketika harus menghadapi kekalahan dalam berpolitik bisa mengakibatkan kemungkinan destruksi diri, yang tentu saja berdampak pada kehidupan publik.
Demi ambisi atau syahwat kekuasaannya yang berlebihan, melewati batas-batas manusiawi, seorang politisi bisa menjadi sosok yang menakutkan. Namun, demokrasi punya mekanisme yang mapan untuk mencegah lahirnya politisi ambisius yang destruktif.
Dalam hitungan pekan, kurang dari sebulan ke depan, demokrasi di Tanah Air akan melahirkan keputusan penting, yang berdampak bagi lima tahun bahkan mungkin lebih bagi kehidupan berpolitik.
Dijadwalkan pada 22 Mei mendatang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil Pemilihan Presiden dan Pemilihan Anggota Legislatif 2019. Bila hasilnya tak disepakati oleh para kontestan peserta pemilu, demokrasi memberi ruang untuk menggugatnya lewat Mahkamah Konstitusi (MK).
Keputusan MK inilah yang harus diterima oleh kontestan. Di sinilah kebesaran jiwa politisi yang dinyatakan kalah harus muncul. Sang politisi harus menerima keputusan itu dengan lapang dada.
Ambisi dan syahwat akan kekuasaan yang melambung harus dikempeskan. Saatnya bagi yang kalah untuk mengucapkan selamat kepada pemenang dan saatnya bagi pemenang untuk merangkul semua warga negara baik yang memilih atau tak memilihnya saat pemilu.
MK diberi kewenangan oleh sistem demokrasi yang diatur dasar-dasarnya dalam konstitusi untuk berperan sebagai palang pintu terakhir penentuan siapa pemenang pemilu.
Bagaimana jika politisi yang divonis kalah menafikan keputusan MK dan mengajak pemilih atau pendukungnya untuk turun ke jalan-jalan memprotes keputusan MK? Demokrasi tentu memberikan ruang untuk protes namun keputusan MK tetap dijalankan dan proses bernegara berjalan sesuai dengan konstitusi.
Namun, dalam situasi pemerintahan yang demokratis, kurang lazim jika politisi kontestan pilpres, yang dinyatakan kalah dalam pemungutan suara, yang otomatis berpeluang menjadi pemimpin oposisi serta-merta menggiring pendukungnya untuk memperlihatkan kekuatan mereka dengan turun di jalan-jalan.
Yang lebih lazim adalah bahwa sang kontestan pemilu yang dinyatakan kalah akan segera mengonsolidasikan diri dengan kubu dan pendukungnya untuk mengawasi dan mengawal pemerintah. Pengawasan, pengawalan, dan kritik yang dilakukan kubu oposisi adalah investasi yang hasilnya bisa dipanen pada saat pemilu mendatang diselenggarakan.
Simpati yang diberikan oleh publik kepada pemimpin oposisi pada akhirnya berimplikasi positif baginya, yang berkemungkinan besar membuka jalan untuk menang dalam pemilu selanjutnya.