Ambon (ANTARA) - Dewasa ini netizen, khususnya yang bermukim di kota Ambon, ibu kota provinsi Maluku disuguhkan dualisme tentang perlu atau tidak, bermanfaat atau tidak bila sopi dilegalkan peredarannya.
Sopi adalah minuman keras khas hasil fermentasi nira. Banyak keluarga atau warga masyarakat di negeri raja-raja (Al Muluk) ini sudah lama memproduksi minuman itu sebagai mata pencaharian.
Awalnya, sopi dibuat untuk pelengkap dan/atau suguhan bagi tamu dalam acara-acara atau ritual adat. Salah satu yang terkenal dan bisa disebutkan di sini adalah ritual tutup (atap) baileo di negeri Ullath.
Di negeri yang berdampingan dengan negeri Ouw di jasirah Tenggara pulau Saparau tersebut, para tamu bisa mencicipi "sopi goyang".
Sopi itu hanya bisa disuguhkan oleh tetua adat dari marga (family name) tertentu. Yang menarik, tempayan berisi sopi itu tidak pernah kering, tidak pernah habis kendati sudah disuguhkan kepada ratusan orang.
Ritual minum sopi goyang selalu dilakukan di dalam baileo. Alat minumnya terbuat dari cangkir berbahan bambu. Para tamu dan warga yang hadir minum dari cangkir itu secara bergantian.
Pada waktu tertentu, setelah sopi disuguhkan kepada beberapa orang, tetua adat yang menyuguhkan menggoyang tempayan sehingga isinya tidak pernah habis sampai ritual selesai.
Selain digunakan dalam acara atau ritual adat, masyarakat di Ullath dan negeri-negeri lain di Maluku juga menjual minuman khas tradisional itu untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.
Ucapan yang seringkali terdengar adalah "Beta hidop dan skola sampe su jadi sarjana ni tagal beta mama jual sopi." Artinya, saya bisa hidup dan sekolah hingga sekarang menjadi sarjana karena ibu saya menjual sopi.
Itulah mengapa sopi sampai sekarang tidak bisa dihentikan produksi dan peredarannya, sekalipun aparat kepolisian tidak jarang menggelar razia dan memusnahkan sopi sitaan.
Legalisasi sopi
Perbedaan pandangan di Maluku soal perlu atau tidak sopi dilegalkan nampaknya dipicu peluncuran Sophia oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Victor Laiskodat, pada beberapa waktu lalu.
Sophia pun merupakan minuman tradisional beralkohol. Kalau sophia bisa dilegalkan agar bisa dikonsumsi secara sah oleh masyarakat di provinsi itu dan bahkan diekspor ke mancanegara sebagai minuman bergengsi, mengapa sopi tidak?
Pertanyaan itu kemudian dilontarkan para netizen di dunia maya, tepatnya beberapa hari setelah muncul berita berjudul Wakil Gubernur Barnabas Orno mendorong legalisasi sopi.
Barnabas tentu tidak bermaksud membenarkan peredaran sopi sebagai minuman keras yang membuat orang mabuk dan memicu terjadinya peristiwa kejahatan atau melawan hukum, tetapi lebih pada menjadikannya komoditas yang mendatangkan keuntungan bagi masyarakat maupun daerah (PAD).
Ketimbang susah diberantas, mengapa tidak dilegalkan saja dengan memenuhi kriteria-kriteria dan persyaratan yang berdampak baik dan menguntungkan semua pihak?
Pendapat lain menyatakan sopi tetap harus dilarang karena lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Apa boleh buat, pendapat ini dilandaskan pada efek negatif minuman sopi yang selama ini memang terbukti memicu perkelahian antarwarga dan kecelakaan di jalan raya.
Sebelumnya, Mayjen TNI Doni Monardo ketika bertugas sebagai Pangdam XVI/Pattimura (kini Kepala BNPB dan berpangkat Letnan Jenderal), kerap menyosialisasikan kepada masyarakat di berbagai daerah di Maluku untuk memanfaatkan enau (nira) sebagai bahan baku gula merah yang bernilai ekonomi dan punya potensi ekspor.
Doni Monardo yang terkenal dengan kampanye Senyum, Sapa, Salaman, Silaturahim (4S) itu juga berpendapat sopi tidak baik bagi masyarakat Maluku.
Ranperda dikembalikan
Berbeda dari wakilnya, Gubernur Maluku Murad Ismail menegaskan dirinya tidak akan menyetujui usul untuk melegalkan minuman tradisional beralkohol hasil fermentasi nira itu.
"Saya dalam kapasitas sebagai kepala daerah tidak menginginkan adanya legalisasi sopi, karena Maluku ini berbeda dengan daerah lain. Jadi jangan ada lagi yang menyuarakan legalisasi sopi," katanya.
Ia menyatakan bahwa Maluku tidak bisa disamakan dengan Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Bali.
Selain Sophia di Nusa Tenggara Timur, minuman keras tradisional juga ada di Sulawesi Utara, namanya Cap Tikus, sementara di Bali ada Brem dan Arak.
Terlepas dari pro-kontra, secara hukum perlu juga dilihat soal pihak mana yang berwewenang melegalkan minuman tersebut.
Menurut Ketua Komisi C DPRD Provinsi Maluku Anos Yeremias, draf Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang pengelolaan minuman tradisional sopi sudah selesai dibahas tahun lalu.
Namun, Kementerian Dalam Negeri mengembalikan draf rancangan peraturan tersebut dengan alasan terkait kewenangan.
Anos mengungkapkan, Ranperda itu seharusnya dibuat oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota di Maluku.
"Kami sudah melakukannya, namun karena kewenangan, maka tidak bisa melanjutkan. Perda itu bukan kewenangan provinsi tetapi kewenangan kabupaten/kota," katanya.
Pendapat terakhir dilontarkan Ketua DPRD Maluku Edwin Adrian Huwae, yang meminta pemerintah kabupaten/kota dan DPRD setempat memikirkan cara agar sopi bisa segera dilegalkan.
Ia mengapresiasi aparat kepolisian yang ketat mengawasi peredaran sopi, namun bukan berarti menahan pembawa sopi.
Edwin yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Maluku berharap pemerintah daerah dan DPRD kabupaten/kota secepatnya memikirkan kemungkinan melegalkan sopi, karena persoalannya bukan kewenangan pihak provinsi.
Ia menegaskan, volume produksi dan peredaran sopi juga diawasi atau lebih terkontrol. Dengan dilegalkan, sopi yang dihasilkan masyarakat baik dari Pulau Ambon, Pulau Seram, Maluku Tenggara dan Kota Tual, hingga Kabupaten Kepulauan Tanimbar dan Kabupaten Maluku Barat Daya bisa dijual langsung ke pihak penampung, sehingga penjualannya tidak sembunyi-sembunyi lagi.
Lalu, akankah sopi dilegalkan? Soal ini cuma waktu yang bisa menjawab.
Spektrum - Sopiku sayang sopiku malang
Selasa, 2 Juli 2019 14:33 WIB