Jakarta (ANTARA) - Tumbangnya Orde Lama membuka pintu bagi masuknya pemikiran dan juga budaya baru yang berkembang di luar negeri, terutama dari Barat. Budaya tanding yang masuk secara masif di era-era awal Orde Baru membuat sebagian masyarakat mengalami gegar budaya.
"Begitu terbuka paruh kedua dekade 60-an, gila tuh, setiap hari ada yang baru. Bahkan sampai pemahaman dan nilai-nilai. Jadi ya begitu terbuka dapet (budaya) gondrongnya, distrosi, psychedelic rock, yang aneh-aneh masuknya. Kebebasan digembar gemborkan oleh kebudayaan Barat," kata David Tarigan pengarsip musik dari Irama Nusantara kepada ANTARA.
Berbagai nilai perlawanan atas budaya yang dominan tumbuh di kalangan anak muda, seperti munculnya generasi bunga (flower generation) yang berkembang di Amerika pada era 1960-an hingga 1970-an.
Gerakan kaum hippies yang mengedepankan cinta dan kasih sayang itu memprotes invasi Amerika Serikat ke Vietnam yang berakibat terjadinya pergolakan sosial dan budaya. Protes yang mereka layangkan tidak hanya dalam bentuk demonstrasi tetapi juga diekspiresikan lewat seni.
Idhar Resmadi dalam bukunya "Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya" menyebutkan gerakan tersebut terinspirasi dari gerakan beat generation yang dimulai dari sekelompok penulis seperti Allen Ginsberg dan Jack Kerouac pada era 1950-an.
Gerakan tersebut dipercaya menjadi cikal bakal budaya tanding yang mendorong kaum muda untuk melek politik dengan berbagai paham baru seperti gerakan cinta lingkungan, gerakan perempuan, masyarakat adat dan anti-rasial.
"Budaya tanding ini memunculkan musisi dan band yang kemudian digilai kaum muda seperti The Beatles, Jimi Hendrix, The Doors, Jeferson Airplane, The Grateful Dead, The Rolling Stones, Bob Dylan, Joan Baez dan lainnya," tulis Idhar mengungkapkan.
Kecemasan yang dirasakan oleh anak-anak muda di belahan barat itu juga dirasakan oleh anak-anak muda di Indonesia. Hari Pochang yang merupakan salah satu personel band progersif rock 70-an, Gang of Harry Roesli menuturkan rock hadir lebih dari sekadar musik tetapi juga pemberontakan.
"Saat itu ada rasa gerah, tidak hanya dalam politik tetapi juga hal moral," kara Hari Pochang yang saat ini aktif di grup Blues Libre dan menjadi pemain harmonika di beberapa proyek musikal.
Dilarang gondrong
Pochang membenarkan kalau saat Orde Baru berkuasa, referensi kebudayaan relatif lebih bebas diterima oleh anak muda ketimbang era Orde Lama. Namun, bukan berarti tak ada keresahan bagi anak muda saat itu. Karena nyatanya, rezim yang baru cukup lekat dengan militerisme.
Anak rock mencoba melawan itu. Tak ayal, semangat perlawanan kaum hippie yang juga sedang marak di Amerika menjadi cocok diadopsi oleh sebagian kalangan anak muda Indonesia.
Mereka bahkan tak hanya mengadopsinya lewat gaya bermusik tetapi juga gaya hidup. Dalam memori Pochang, di kawasan Jalan Dago, Kota Bandung saat itu mudah ditemui anak muda bergaya hippie dengan rambut gondrong mengenakan baju bercorak bunga hingga hidup 'menggelandang' di ruas jalan itu.
"Saat itu (di kota) banyak juga tentara yang baru pulang dari Kalimantan, Operasi Dwikora. Itu musuhnya orang gondrong (hippie). Karena rezim tentara itu ternyata sangat terasa di era Orba. Kalau (hippies) di luar menyebutnya pig, di sini kami sebut sato (bahasa Sunda yang berarti binatang)," ucap dia.
Budaya hippies yang mulai marak di beberapa kota besar, dalam titik tertentu dinilai sudah meresahkan. Aria Wiratma Yudistira dalam "Dilarang Gondrong!" menyebut kalau pemerintah menilai keberadaan kaum hippies sudah menganggu ketertiban umum karena pakaian yang tidak teratur, kebiasaan hidup yang menggangu perasaan susila, tidak mempunyai tempat tinggal tetap, dan membawa obat bius tanpa persetujuan dokter.
Pochang membenarkan hal itu. Menurutnya, represi pemerintah pada kaum hippies tak hanya lewat teguran tetapi sudah mulai masuk ke razia. Dia punya kenangan saat harus menyembunyikan temannya di bagasi mobil karena takut kena razia pemotongan rambut dan celana cutbray.
"Dulu saya sama kang Harry Roesly pulang manggung, dapat kabar dari teman kalau di Jalan Tamblong ada razia, kebetulan seorang teman kami ada yang gondrong sekali dan akhirnya sampai dimasukin ke bagasi mobil. The Rollies bahkan sampai jalan kaki dari Dago Tea House lewat jalan ke kampung untuk pulang ke daerah kota agar tidak melewati aparat yang sedang merazia," ucap dia.
Namun makin dilarang, anak muda bukannya kapok malah makin menjadi. Musik menjadi salah satu sarana yang kuat atas gairah pembangkangan mereka.
Jika di luar pahlawan mereka adalah musisi-musisi yang banyak disebut tadi, maka di Indonesia juga mulai muncul beberapa nama yang jadi acuan seperti AKA dari Surabaya, Bentoel dari Malang, God Bless dari Jakarta, The Rollies dari Bandung, dan lain-lain. Kejayaan musik rock hadir di awal dekade 70.
"Larangannya kan tidak masuk akal. Mau nonton film, tiba-tiba ada razia. Celana juga kan dipotong. Caranya memang cara militer. Keresahan itu diekspresikan lewat musik," ucap dia.
Histori rock Indonesia, ORBA buka keran budaya barat
Rabu, 16 Oktober 2019 12:45 WIB