Jakarta (ANTARA) - Presiden AS John F Kennedy pernah menyatakan bahwa umat manusia terikat dengan lautan.
Dengan adanya ikatan itu, maka Kennedy juga menyatakan bahwa saat seseorang berlayar atau hanya mengamati lautan, maka sama saja orang itu sedang melihat asal muasal kehidupan manusia.
Laut, yang merupakan dua pertiga dari permukaan bumi ini, menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati yang sama atau bahkan dapat disebut lebih luas daripada kekayaan hayati daratan.
Salah satu dari kekayaan tersebut adalah berupa terumbu karang, yang menurut Menteri Kelautan dan Perikanan/KKP Edhy Prabowo merupakan hal yang penting bagi lautan Nusantara.
Mengapa demikian? Edhy menyebut bahwa pelestarian dan pengelolaan terumbu selaras dengan laju pertumbuhan ekonomi kawasan pesisir.
Menteri Kelautan dan Perikanan menyebut bahwa hal itu tidak semata-mata dari nilai yang diperoleh dari komoditas kelautan dan perikanan, tetapi juga dari sektor pariwisata dan bidang lainnya yang terkait dengan perekonomian pesisir.
Menurut Edhy Prabowo, pelestarian dan pengelolaan terumbu karang hasilnya akan berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi pesisir mengingat biota laut ini punya nilai ekonomi tinggi.
Mengacu pada kajian United Nations Environment Program dua tahun lalu, nilai ekonomi terumbu karang Indonesia mencapai 37 miliar dolar AS pada 2030 bila dikelola dengan baik.
Edhy menegaskan perlunya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan upaya pelestarian dalam mengelola kekayaan laut Indonesia, termasuk terumbu karang.
Menyadari peran terumbu karang yang begitu besar dalam ekosistem laut, Edhy meminta penanaman terumbu karang masif dilakukan oleh semua lapisan.
Apalagi, lanjutnya, terumbu karang punya manfaat lain yaitu sebagai penghasil oksigen yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya.
"Sudah saatnya kebijakan tidak semata-mata hanya untuk melarang pemanfaatan tanpa ada alasan tertentu yang mendasarinya atau tanpa justifikasi berbasis kajian ilmiah. Tentu pemanfaatan pun harus diimbangi dengan upaya konservasi. Kata kuncinya keseimbangan," ucapnya.
Ia mengungkapkan, KKP menargetkan agar 10 persen dari luas perairan Indonesia (setara 32,2 juta hektare) menjadi kawasan konservasi perairan yang termanfaatkan secara berkelanjutan pada 2030.
Sebelumnya, Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Aryo Hanggono menyebut luas kawasan konservasi perairan Indonesia saat ini telah mencapai 23,34 juta hektare atau setara dengan 7,18 persen dari luas perairan Republik Indonesia.
Aryo memaparkan bahwa hingga Maret 2020, luas kawasan konservasi perairan Indonesia telah mencapai 23,34 juta hektare atau 7,18 persen dari luas perairan Indonesia, sehingga masih dibutuhkan 2,82 persen atau 9,16 juta hektare lagi untuk mencapai target.
Sebagaimana diketahui, Pemerintah Indonesia menargetkan 32,5 juta hektare atau 10 persen dari luas perairan Indonesia sebagai kawasan konservasi perairan yang operasional dan termanfaatkan secara berkelanjutan pada tahun 2030.
Lebih lanjut Aryo menjelaskan, meski telah mencapai 23,34 juta hektare hingga saat ini kawasan konservasi perairan yang operasional dan termanfaatkan secara berkelanjutan baru mencapai 9,89 juta hektare.
Ia menyebutkan bahwa untuk mencapai tujuan utama pengelolaan kawasan konservasi perairan ada sejumlah tantangan, di antaranya perencanaan terpadu antara pusat, daerah dan pemangku kepentingan lainnya serta pendanaan berkelanjutan.
Karang buatan
KKP juga telah berkoordinasi antara lain dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Keuangan, serta SKK Migas tengah berupaya mencari jalan keluar untuk mendanai atau memanfaatkan pembongkaran anjungan hulu migas yang sudah tidak aktif.
Kepala Badan Riset dan SDM KKP Sjarief Widjaja menyatakan, pengalihan anjungan migas nonaktif untuk kepentingan sektor kelautan dan perikanan nasional, di antaranya dalam rangka merehabilitasi lingkungan sebagai terumbu karang buatan.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM terdapat sekitar 600 anjungan migas lepas pantai (AMLP) yang berdiri di atas perairan Indonesia.
Dari jumlah tersebut, terdapat 102 anjungan lepas pantai yang sudah tak beroperasi dan perlu segera dibongkar karena menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan navigasi.
Decommissioning anjungan migas merupakan kegiatan untuk menutup fasilitas dan memulihkan kondisi lingkungan sekitar fasilitas, yang merupakan salah satu tahapan dalam siklus proyek minyak dan gas bumi.
Decommissioning membutuhkan biaya besar dan hal teknis lainnya yang tentunya tidak mudah, sehingga diperlukan adanya alternatif pemanfaatan dari anjungan migas lepas pantai ini.
Sjarief memaparkan bahwa pada 2019 telah disepakati pembentukan kerja sama Korea-Indonesia Offshore Research Cooperation Center (KIORCC).
Kerja sama ini berlanjut hingga 2022 dengan fokus kegiatan utama adalah feasibility study pemanfaatan platform di wilayah kerja migas RI.
Ia menuturkan bahwa kerja sama tersebut telah menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk pemanfaatan kembali anjungan lepas pantai yang ditinggalkan untuk sektor kelautan dan perikanan, seperti terumbu buatan (rigs-to-reef/R2R), budi daya lepas pantai (rigs-to-fish farms/R2F), stasiun penelitian kelautan, ruang penyimpan ikan, dan wisata bahari.
"Studi dari hasil kerja sama tersebut memberikan solusi kepada pemerintah tentang cara mengelola platform minyak yang ditinggalkan dan tidak digunakan yang telah menjadi masalah selama beberapa tahun," jelas Sjarief.
Menurut dia, hasil perhitungan ekonomi pun menunjukkan bahwa opsi R2R dan R2F tidak hanya memberikan solusi pengurangan biaya pembongkaran, akan tetapi juga memberikan nilai tambah bagi lingkungan dan masyarakat pesisir.
Tahun 2020, Pusat Riset Kelautan KKP akan melakukan rangkaian penelitian yang sama untuk dua AMLP yang berada di sekitar Pulau Kangean yang dikelola oleh PT Pertamina Kangean Energi Indonesia, diikuti lima AMLP milik PT Pertamina Offshore South East Sumatera dan dua AMLP milik PT Pertamina Offshore North West Java pada 2021.
Tahun 2021-2022, direncanakan pilot project R2R untuk tiga AMLP Attaka dengan merujuk pada hasil penelitian Pusat Riset Kelautan dan Korean Maritime and Ocean University Consortium (KMOUC) pada 2017.
Selain KKP, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Republik Indonesia akan mengembangkan kebun raya maritim atau kelautan.
Kepala LIPI Laksana Tri Handoko dalam konferensi pers virtual, Jakarta, Kamis (16/7), menyatakan, kebun raya maritim tersebut difokuskan untuk konservasi terumbu karang.
Kemenko Marves telah menginisiasi pengembangan kawasan konservasi terumbu karang sekitar satu atau dua tahun lalu di area laut sekitar Nusa Dua, Bali.
Handoko menuturkan dengan menjadikannya sebagai kebun raya maritim, maka konservasi akan menjadi berkelanjutan dengan aspek legal yang lebih kuat sehingga ada jaminan untuk kelestarian dan pengelolaan yang berkelanjutan.
LIPI berupaya untuk mempertahankan dan memelihara ekosistem terumbu karang. Konservasi terumbu karang juga menjadi bagian dari konservasi wilayah pesisir.
Penertiban rumpon
Dalam rangka mengamankan kawasan konservasi, KKP juga telah melakukan beragam penindakan seperti mengamankan enam alat bantu penangkapan ikan rumpon yang dipasang secara ilegal pada Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KPPN).
Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Tb Haeru Rahayu menyebutkan, penertiban rumpon itu merupakan upaya untuk melindungi kawasan konservasi perairan dari kegiatan penangkapan ikan secara ilegal.
Tb Haeru Rahayu menegaskan bahwa hal ini bagian dari amanat Undang-Undang, bahwa KKPN ini perlu untuk diawasi karena memiliki biodiversitas yang tinggi seperti terumbu karang, lamun, jenis ikan dilindungi, mangrove, dan lainnya, sehingga harus dikelola dan dimanfaatkan secara tertib dan berkelanjutan.
Tidak hanya institusi pemerintah, pihak lainnya juga memperhatikan dengan sangat pengelolaan kawasan terumbu karang berkelanjutan.
Misalnya, PT Timah Tbk yang menanam 995 terumbu karang di perairan Pulau Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sebagai bentuk reklamasi laut perusahaan dalam menjaga dan memulihkan ekosistem laut di pulau penghasil bijih timah nomor dua terbesar dunia itu.
"Kita bekerjasama dengan Universitas Bangka Belitung dan nelayan tradisional tidak hanya menanam, tetapi juga memantau pertumbuhan terumbu karang yang ditanam di wilayah operasional perusahaan," kata Kepala Bidang Komunikasi Perusahaan PT Timah Tbk, Anggi Siahaan.
Ia mengatakan penanaman 995 terumbu karang tersebut disebar di beberapa kawasan perairan Pulau Bangka seperti Perairan Karang Melantut, Perairan Matras, Perairan Penyusuk, Tanjung Melala, Tanjung Ular, Perairan Karang Aji, Tanjung Kubu, Pulau Pemain, Perairan Penyusuk, dan Pulau Panjang.
Menurut dia, PT Timah secara konsisten setiap tahunnya melakukan penyebaran artificial reef ke berbagai wilayah operasionalnya.
Sejauh ini, masih menurut Anggi, tingkat keberhasilan dalam melakukan reklamasi laut menunjukkan hasil yang positif.
Hal ini terlihat dari Indeks Keanekaragaman jenis ikan andalan yang berkisar antara 1,8-2,5 dari nilai indeks keanekaragaman yang berkisar 1-3.
Dengan adanya gerakan yang serentak dari beberapa pihak ini, diharapkan ke depannya akan semakin banyak lagi melakukan hal serupa sehingga perekonomian pesisir juga bisa turut melesat sehingga betul-betul menjadi sumber dari keberlanjutan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.