Ambon (ANTARA) - Terdakwa Feri Tanaya (FT) yang terlibat kasus dugaan tindak pidana korupsi anggaran pembelian lahan untuk pembangunan sarana PLTMG di Namlea, Kabupaten Buru dituntut 10 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum Kejati Maluku, Achmad Atamimi.
"Meminta majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menghukum terdakwa selama 10 tahun penjara karena terbukti melanggar pasal 2 juncto pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ke-1 KUHP," kata Achmad di Ambon, Rabu.
Tuntutan tersebut disampaikan dalam persidangan dipimpin ketua majelis hakim Tipikor Ambon, Pasti Tarigan dan didampingi dua hakim anggota.
Terdakwa juga dituntut membayar denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp6,08 miliar subsider 4,3 tahun kurungan.
Dalam persidangan tersebut, JPU juga menuntut terdakwa Abdul Gafur selama 8,5 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp9,7 juta.
Ada pun hal yang memberatkan terdakwa dituntut hukuman penjara dan denda serta membayar uang pengganti karena tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi dan telah menimbulkan keruguain keuangan negara.
Achmad mengatakan, pihak PLN Unit Induk Pembangunan Maluku pada 2016 melakukan proses pengadaan tanah bagi pembangunan PLTMG yang berlokasi di Dusun Jiku, Desa Namlea, Kabupaten Buru.
Maka selanjutnya untuk kepentingan tersebut, PLN UIP Maluku melayangkan surat kepada pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Buru , selanjut Kepalanya, John George Sen (Alm) secara lisan memerintahkan tersangka AG selaku Kasie Pengukuran di BPN Buru melakukan pengukuran lahan.
Dalam pengukuran tanah seluas 48.000 meter persegi ini, terdakwa Abdul Gafur membuat peta alokasi nomor 02208 tertanggal 16 Juni 2016. Namun, tidak sesuai data sebenarnya, karena mencantumkan nomor induk bidang tersebut tetapi berdasarkan komputerisasi ternyata lokasi itu milik Abdul Rasyid Tuanani 645 meter persegi.
"Padahal tanah ini dikuasai oleh negara karena lokasinya merupakan bagian dari tanah erfpacht (hak barat) dan pemegang haknya atas nama Zadrak Wakano (Alm) yang meninggal dunia pada 1981. Pada 1985 terjadi transaksi jual beli antara keluarga waris dengan tersangka FT," kata Achmad.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, tanah erfpracht tidak bisa dipindah-tangankan, baik kepada ahli waris maupun kepada pihak lain selaku pembeli.
Karena setelah pemegang hak erfpracht meninggal dunia, maka selesailah kepemilikan atas tanah tersebut dan tidak bisa dikuasai oleh ahli waris tetapi statusnya menjadi tanah yang dikuasai negara.
Sebab yang hanya berhak mengkonversi tanah itu adalah pemegang hak, dalam hal ini almarhum Zadrak Wakano dan seharusnya Zadrak mengkonversi tanah tersebut pada September 1980 selesai pemberlakukan UUPA tahun 1960, namun hal itu tidak dilakukan almarhum.
Selanjutnya berdasarkan peta lokasi nomor 02208 tertanggal 16 Juni 2016 yang dibuat terdakwa Abdul Gafur, lalu pihak PLN melanjutkan proses pembebasan lahan tersebut.