Ambon (ANTARA) - Guru Besar bidang manajemen sistem pedesaan Universitas Pattimura, Ambon Prof Wardis Girsang mengemukakan hilirisasi industri di perdesaan menjadi kunci untuk mengentaskan kemiskinan di Maluku.
"Pengentasan kemiskinan dimulai dengan membangun industri berbasis komoditas unggulan lokal pada 12 gugus pulau di Maluku," kata Prof Wardis Girsang di Ambon, Rabu.
Hal itu dikatakannya dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Unpatti dengan judul Percepatan pengentasan kemiskinan berbasis gugus pulau di Provinsi Maluku.
Menurut Wardis angka kemiskinan di Maluku pada 2023 16,42 persen dan pada 2024 16,05. Selama tiga dekade terakhir (34 tahun), Maluku tetap menempati urutan provinsi termiskin ke-3 (1990-2010), dan kemudian ranking ke-4 (2024) dari 34 provinsi atau urutan ke-8 dari 38 provinsi.
"Artinya, angka kemiskinan absolut di Maluku belum bisa dipercepat melewati provinsi lain karena berjalan perlahan, melambat, dan berfluktuasi, dengan rata-rata penurunan sekitar 0,9 persen per tahun," kata dia.
Ia melanjutkan perlu dipahami angka kemiskinan 16,42 persen pada Maret 2023 adalah gabungan dari angka kemiskinan di desa dan kota, masing-masing 24,64 persen dan 5,49 persen.
Merujuk pada hal itu kata dia persentase kemiskinan di desa lima kali lebih tinggi dibanding di kota.
Oleh sebab itu ujarnya diperlukan hilirisasi industri dari desa utamanya pada 12 gugus pulau di Maluku dengan memanfaatkan komoditas unggulan masing-masing perdesaan yang ada.
"Maluku harusnya dibangun dengan berbasis gugus pulau karena skala ekonomi kita kecil, kita harus menyatukan satu kawasan atau lokasi untuk produksi lebih besar agar bisa bersaing. Mari kita membangun di setiap gugus pulau di Maluku," kata dia.
Ia melanjutkan dengan hilirisasi industri, petani atau nelayan bisa mengolah terlebih dahulu komoditas yang ada baru kemudian dijual sehingga memiliki pertambahan nilai ekonomi.
Ia melanjutkan dalam hal ini perguruan tinggi atau lembaga riset yang menghasilkan inovasi harus mendorong pemerintah daerah untuk membuka peluang investasi di setiap gugus pulau sebagai pusat kajian dan pengawasan, sekaligus menjadi pusat pendorong pertumbuhan ekonomi.
"Misalnya di Jepang satu Universitas mengelola 10 keramba ikan yang satu keramba ikan itu memiliki nilai Rp3 miliar tapi bisa memproduksi blue fin tuna yang harganya Rp250 ribu per kilo," katanya.
Selain itu dengan hilirisasi industri di perdesaan juga para nelayan dan petani berorientasi dari perikanan ke pertanian. Disamping itu katanya perlu juga dibangun pusat penelitian untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
"Kalau di setiap gugus pulau itu muncul pusat penelitian sebagai pendongkrak perekonomian maka sarjana-sarjana kita yang berjiwa wirausaha akan menjadi pengusaha di situ. Bisnis yang kita bangun adalah bisnis yang membangun relasi antara usaha kecil, mikro, kecil menengah, sampai kepada usaha yang besar," ucapnya.