Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyuarakan ide kenaikan dana bantuan politik (banpol) bagi partai politik demi mencegah praktik korupsi, karena partai harus menyiapkan modal besar menghadapi pemilu.
Ide ini menuai kontroversi. Pihak yang kontra tentu saja beranggapan berapa pun nominal yang diberikan oleh pemerintah, korupsi oleh pengurus atau kader parpol jalan terus. Keraguan ini bukan tanpa alasan.
Kebijakan kenaikan gaji hakim menjadi contoh nyata. Lihat saja kasus suap dalam perkara pembunuhan yang melibatkan Ronald Tanur, dimana istri terdakwa menyuap hakim dengan nilai Rp4,67 miliar. Kasus ini menjadi bukti bahwa korupsi tidak cukup diberantas hanya dengan menaikkan gaji.
Pihak yang pro, sebaliknya, menilai bahwa bisa saja kenaikan dana ini menjadi formula baru untuk mengatasi korupsi yang sudah membudaya di negeri ini.
Kontroversi ini semakin mengemuka setelah Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam rapat bersama Komisi II DPR RI menyatakan bahwa dana bantuan politik seharusnya dinaikkan secara signifikan, bahkan mencapai Rp1 triliun per tahun untuk partai besar.
Memberantas korupsi memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jika mental dan integritas tidak dibenahi, seberapa besar pun gaji yang diterima, praktik korupsi tetap akan terjadi.
Perlu ada komitmen kuat dan menyeluruh dari setiap individu dan institusi. Oleh karena itu, inisiatif Presiden Prabowo dalam memberantas korupsi harus dilaksanakan secara menyeluruh, dari tingkat pusat hingga akar rumput, dengan semangat kolaboratif dan konsisten.
Pemberdayaan parpol
Setiap tahun, Pemerintah memberikan dana bantuan politik sebagai upaya untuk memberdayakan partai politik. Ini artinya, negara menaruh harapan besar atas kualitas sumber daya manusia parpol.
Dana bantuan ini diharapkan bisa dimanfaatkan untuk program kaderisasi dan pemberdayaan anggota partai.
Namun istilah “bantuan partai politik” atau banpol ini membawa masalah tersendiri. Karena namanya “bantuan”, dana itu memiliki konsekuensi: tidak perlu dipertanggungjawabkan.
Di samping itu, penggunaan dana tersebut diserahkan kepada parpol yang bersangkutan dan negara hanya merasa memenuhi kewajiban atas kehidupan parpol. Akibatnya, tidak ada partai di Indonesia yang melakukan kaderisasi secara ajeg.
Identik dengan bansos atau bantuan sosial, dana ini secara cuma-cuma diberikan oleh pemerintah pusat atau daerah di Indonesia. Menurut penulis, hal ini tidak tepat lagi. Penggunaan istilah Dana Banpol harus diganti dengan DOP (Dana Operasional Partai).
Jika namanya menjadi DOP maka dana harus dipertanggungjawabkan setiap Tahun Anggaran. Dalam laporan ini harus diperinci peruntukannya, terutama harus jelas tiap tahun harus diprogramkan pemberdayaan kader parpol.
Konsekuensi dari pertanggungjawaban ini menuntut tiap parpol harus kreatif dalam mengelola DOP. Para pengurus parpol harus memprogramkan kaderisasi menggunakan berbagai platform media saat ini (media sosial, media elektronik, media online, media publik, media cetak, media komunitas, media berlangganan). Bahkan secara cerdas dia harus mengoptimalkan hadirnya AI (kecerdasan buatan).
Parpol harus mengubah mindset (cara berpikir). Mereka harus inovatif dalam mencari sumber-sumber pendanaan bagi parpol. Mereka tidak bisa lagi bergantung pada “pemberian” dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik.
Prinsip utamanya, dana itu dapat dipertanggungjawabkan, sementara sumber dana itu bisa berasal dari manapun. Kalau perlu dana ini harus bisa diaudit oleh akuntan publik.
Terkait kaderisasi, parpol hendaknya menghindari munculnya “pemain baru” yang menjelang Pemilu mendadak dijadikan kader partai demi mencalonkan diri menjadi pemimpin/kepala daerah.
Untuk itu parpol harus mempertimbangkan loyalitas setiap kader. Loyalitas tidak bisa disamakan dengan lamanya seseorang berkiprah di partai tersebut, tidak bisa lagi menggunakan ukuran sekian tahun mengabdi baru dikatakan loyal. Lebih penting lagi adalah dia harus menunjukkan komitmennya kepada parpol dan bahwa dia sudah “membanting tulang” demi parpol.
Agenda ke depan
Agenda yang bisa dipersiapkan oleh Pemerintah antara lain adalah, pertama, Kementerian Dalam Negeri mengharuskan parpol untuk mengagendakan mekanisme sistem kaderisasi yang terstruktur, sistematis dan berulang secara periodik. Jangan sampai parpol hanya sibuk mengagendakan program kaderisasi menjelang ajang pemilihan anggota dewan atau kepala daerah.
Kedua, agar Dana Operasional Partai (DOP) benar-benar menjadi motor reformasi politik, pemerintah Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara lain.
Di Jerman, pendanaan publik bagi partai disalurkan dengan prinsip matching fund. Artinya, negara hanya akan mencocokkan dana yang berhasil dikumpulkan partai dari publik dengan syarat adanya laporan penggunaan yang transparan dan diaudit secara berkala (Bundeszentrale für politische Bildung, 2023). Ini mendorong partai lebih aktif membangun kepercayaan publik dan tidak semata bergantung pada dana negara.
Swedia dan Finlandia juga menerapkan pola serupa. Dana publik yang diberikan untuk partai wajib dialokasikan untuk pendidikan politik, kaderisasi, dan pelibatan anggota secara terbuka. Transparansi menjadi mutlak, bukan sekadar formalitas administratif (International IDEA, 2023).
Sebaliknya, pengalaman dari sejumlah negara Amerika Latin seperti Guatemala dan Honduras menunjukkan bahwa subsidi politik tanpa mekanisme pertanggungjawaban justru memperkuat patronase elit partai. Dana negara rawan disalahgunakan untuk kepentingan jangka pendek, sementara kaderisasi dan pendidikan politik tetap lemah.
Belajar dari sini, Indonesia perlu memperkuat regulasi DOP dengan syarat pelaporan yang rinci dan sanksi tegas bagi partai yang tidak transparan. Sebagai langkah konkret, minimal 30 persen dari DOP sebaiknya diwajibkan untuk program kaderisasi berbasis media digital, pelatihan politik, serta penguatan struktur partai secara terbuka dan berkelanjutan.
Dengan begitu, DOP tidak berhenti sebagai bantuan administratif, melainkan menjadi instrumen strategis dalam membangun partai modern yang akuntabel.
*) Yayan Sakti Suryandaru, pengamat politik dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya
*) Rini Kartini, mahasiswa Doktoral Ilmu Sosial Universitas Airlangga Surabaya
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pemberdayaan partai: Banpol atau DOP