Ternate, 26/12 (Antara Maluku) - Pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Maluku Utara baik pilkada provinsi maupun kabupaten/kota sering diwarnai kecurangan bahkan tidak jarang menimbulkan konflik.
Berbagai pihak di Malut berharap pelaksanaan pilkada serentak 9 Desember 2015 di delapan kabupaten/kota menjadi momentum untuk menghilangkan predikat Malut sebagai daerah rawan kecurangan pilkada dengan cara menampilkan pilkada yang berkualitas dan berintegritas.
Namun pengamat politik dari Universitas Khairun (Unkhair) Ternate Ridha Adjam menilai pelaksanaan pilkada serentak di Malut pada penghujung 2015 tampaknya belum bisa menghilangkan potret Malut sebagai daerah rawan kecurangan pilkada.
Praktik kecurangan masih mewarnai hampir semua tahapan pelaksansaan pilkada serentak di delapan kabupaten/kota di Malut, terutama pada tahapan kampanye, pemungutan suara dan rekapitulasi hasil suara.
Pada tahapan kampanye praktik kecurangan yang terjadi seperti ketidaknetralan pejabat birokrasi dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ditandai dengan tindakan mereka mendukung secara terang-terangan kepada pasangan calon kepala daerah /wakil kepala daerah tertentu.
Bahkan, kata Ridha Adjam, ada seorang camat yang menandanai kampanye pasangan calon kepala daerah/wakil calon kepala daerah tertentu, ada pula kepala daerah yang mencopot pejabat di jajarannya karena tidak mendukung pasangan calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah tertentu.
Pada tahapan pemungutan suara juga tidak lepas dari berbagai praktik kecurangan, seperti banyak warga yang tidak mendapat undangan memilih, adanya warga yang memilih lebih dari satu kali dan praktik politik uang.
Praktik kecurangan yang paling menonjol dan pelaksanaan pilkada serentak di delapan kabupaten/kota di Malut adalah rekayasa hasil penghitungan suara yang dilakukan di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Di Kabupaten Halmahera Selatan misalnya, menurut Ridha Adjam, perolehan suara pasangan calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah yang sudah diplenokan di tingkat TPS, berbeda setelah tiba di pleno PPK dan berbeda lagi setelah diplenokan lagi ditingkat KPU kabupatens setempat.
Banyaknya praktik kecurangan tersebut mengkibatkan dari delapan kabupaten/kota di Malu yang menggelar pilkada serentak, tiga kabupaten di antaranya yakni Halmahera Selatan, Halmahera Barat dan Kepulauan Sula harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Di lima kabupaten/kota lainnya yakni Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara, Halmahera Timur dan Pulau Taliabu memang hasil pilkadanya tidak di bawa ke MK, tetapi hal itu bukan berarti tidak ada kecurangan, melainkan terbentur dengan adanya persyaratan selisih suara maksimal dua persen untuk membawanya ke MK.
Ridha Adjam menilai banyaknya kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada serentak di Malut tersebut terutama disebabkan rendahnya komitmen dari berbagai pihak terkait, khususnya penyelenggara pilkada, peserta pilkada dan masyarakat dalam upaya mewujudkan pilkada yang berkualitas dan berintegritas.
Penyelenggara pilkada, yakni KPU dan Bawaslu, terutama tataran tingkat bawah terlihat belum sepenuhnya melaksanakan semua aturan yang berlaku, bahkan terkesan mereka berpihak kepada pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah tertentu.
Begitu pula peserta pilkada yakni pasangan calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah, termasuk parpol pengusung dan tim sukses masing-masing terlihat menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan tanpa memperdulikan ketentuan dan etika berpolitik yang santun.
Masyarakat sebagai pengguna hak pilih, menurut Ridha Adjam, juga dalam menggunakan hak pilihnya lebih mengedepankan pertimbangan yang tidak rasional, misalnya mau memilih pasangan tertentu kalau mendapat uang.
Pejabat birokrasi dan ASN yang seharusnya menunjukkan sikap netral dalam pelaksanaan pilkada, justru mereka memanfaatkan kewenangan dan kekuasaan untuk mendukung pasangan kepala daerah tertentu, tetapi ironisnya ada kesan pembiaran terhadap praktik ini.
Semua hal tersebut hendaknya menjadi evaluasi dari semua pihak terkait di Malut dan diharapkan bisa menjadi masukan untuk pelaksanaan pilkada serentak berikutnya agar daerah ini bebas dari predikat sebagai daerah rawan kecurangan pilkada.
Ketua KPU Malut Syahrani Sumadayo mengaku KPU Malut sejak awal telah berkomitmen untuk menggelar pilkada serentak tanpa kecurangan, di antaranya dengan terus memberikan pemahaman dan sosialisasi kepada seluruh KPU kabupaten/kota dan jajaran di bawahnya untuk melaksanakan seluruh ketentuan dalam proses pilkada.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pelaksanaan pilkada serentak di Malut ada yang tidak mematuhi ketentuan itu dan KPU Malut telah bertindak tegas, seperti terhadap seluruh komisioner KPU Halmahera Selatan yang di nonaktifkan sementara diduga tidak mematuhi aturan dalam melaksanakan rekapitulasi suara.
Ketua Bawaslu Maltu Sultan Alwan juga mengaku pihaknya sejak awal telah berupaya mendorong terwujudnya pelaksanaan pilkada yang berkualitas dan berintegritas dengan cara meningkatkan pengawasan dan itu sudah dibuktikan dengan memberikan berbagai rekomendasi kepada KPU atas berbagai temuan pelanggaran yang ada.
Telepas dari bagaimana potret pelaksanaan pilkada serentak di Malut pada 9 Desember 2015, masyarakat di daerah ini berharap apapun hasilnya nanti, semuanya tidak sampai berkembang menjadi konflik dan di sinilah dituntut kesadaran dan jiwa besar untuk menerima hasil itu.
Selaian itu, masyarakat berharap ada keseriusan dan komitmen dari pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah di delapan kabupaten/kota yang nantinya ditetapkan sebagai pemenang untuk merealisasikan semua janji dan program yang disampaikan dalam kampanye serta menghindari gaya kepemimpinan yang balas dendam.