Ambon (ANTARA) - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menggelar sosialisasi implementasi sub penyalur dan penyalur mini bahan bakar minyak (BBM) kepada masyarakat di Kota Ambon, ibu kota provinsi Maluku, Selasa.
Sosialisasi dan implementasi yang dibuka Kepala Seksi Pengaturan Pendistribusian BBM, BPH Migas Joko Kristadi yang dihadiri sekitar 75 perwakilan pemerintah, LSM, kelompok nelayan yang menghadirkan anggota Komisi VII DPR-RI Mercy Chriesty Barends, General General Manager Marketing Operation Region (MOR) VIII PT Pertamina (Persero) Maluku Papua, Hera Indra Wirawan dan Kadis ESDM Maluku Fauzan Khatib sebagai nara sumber.
Menurut Joko, sosialisasi bertujuan mempercepat penerapan program BBM satu harga secara nasional, terutama di Maluku yang tergolong sulit karena karakteristiknya sebagai provinsi Kepulauan dengan 1.340 pulau, di mana 92,4 persen dari wilayah seluas merupakan 712.480 KM2 merupakan laut., .
Sosialiasi tersebut juga sebagai bagian amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pasal 8 Ayat (2), disebutkan "Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah NKRI”.
"Amanah ini dalam pelaksanaannya dipercayakan kepada BPH Migas untuk melakukan pengaturan dan pengawasan dalam upaya menjamin ketersediaan dan kelancaran distribusi BBM di seluruh wilayah NKRI," ujarnya
namun dalam kenyataan banyak daerah di Indonesia terutama di daerah Terdepan, Terpencil dan Tertinggal (3T) belum memiliki infrastruktur penyalur seperti stasiun pengisian bahan bakar (SPBU), sehingga masyarakat harus membeli BBM dengan harga tinggi berlipat kali dari harga yang ada di penyalur.
Saat ini baru terbangun 7.251 lembaga penyalur dan 192 terminal BBM, di mana sebagian besar ada di Pulau jawa, sehingga dinilai kurang ideal untuk mengoptimalkan pendistribusian BBM ke pelosok-pelosok Tanah Air, terutama di Kawasan Timur.
"Ketiadaan penyalur mendorong tumbuhnya penyalur illegal atau sering dikenal dengan pengecer/pertamini. Akibatnya masyarakat harus membeli BBM dengan harga tinggi dan tingkat keamanan tidak terjamin," katanya.
Karena itu, untuk mengatasi hal tersebut BPH Migas telah mengeluarkan Peraturan No.06 tahun 2015 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan pada wilayah yang belum terdapat Penyalur.
Sub penyalur BBM merupakan perwakilan dari sekelompok konsumen pengguna jenis BBM tertentu di daerah yang tidak terdapat penyalur BBM. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi jika ingin menjadi sub penyalur BBM.
"Ada dua tahapan besar untuk jadi sub penyalur yakni tahapan sebelum impelementasi sub penyalur dan persyaratan untuk menjadi sub penyalur," katanya.
Tahapan awal, kepala daerah setempat membentuk tim yang bertugas menunjuk sub penyalur BBM. Setelah itu, Bupati atau Wali Kota menentukan besaran ongkos penyalur ke sub penyalur serta menentukan standarisasi teknis peralatan sub penyalur.
"Ongkosnya ditentukan Pemda, bukan BPH Migas atau Pertamina karena yang tahu kondisi daerah setempat itu Bupati/Wali Kota," tambahnya.
Pihak yang ditunjuk sebagai sub penyalur sendiri harus memiliki kriteria dasar yang ditentukan yakni mereka harus berpengalaman mengelola kegiatan usaha atau unit usaha, serta lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat sub penyalur, harus memenuhi standar Keselamatan Kerja dan Lindungan Lingkungan (K3LL) serta megantongi izin lokasi dari pemda.
"Lokasi sub penyalur paling tidak berjarak 5 Km dari Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), atau 10 kilometer dari SPBU," tandasnya.
Dia berharap, setelah sosialisasi tersebut, akan tumbuh banyak sub penyalur dan penyalur mini BBM di provinsi Maluku, sehingga dapat memotong rentang kendali dan jaringan distribusi yang panjang dan sulit ke daerah yang belum terjangkau, sekaligus mempercepat implementasi BBM satu harga.