Ambon (ANTARA) - Fasilitator penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat di Maluku, Brian Awaykwane mengatakan mereka enggan dipindahkan ke daerah lain seperti Kabupaten Kepulauan Aru karena terbentur masalah standar pembayaran upah yang tidak sesuai.
"Ikut kontrak harus sesuai lokasi tempat kerja yang baru dan standarnya tidak sama dengan di Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan," kata Brian di Ambon, Sabtu.
Brian merupakan salah satu dari sejumlah tenaga fasilitator di Kabupaten Buru yang tidak diperpanjang kontrak kerjanya oleh Balai Prasarana Pemukiman Wilayah Maluku (Ditjen Cipta Karya), dan gaji mereka tidak dibayarkan selama berbulan-bulan.
Persoalan ini sempat disampaikan ke Komisi III DPRD Maluku serta Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi provinsi untuk diselesaikan.
Menurut dia, ada teman-teman yang sudah bekerja dari tahun 2014 lalu, sementara seorang temannya bernama Ridwan Hasan yang tidak diperpanjang kontraknya juga bekerja dari tahun 2018.
"Alasannya, kami tidak mengerti dengan mekanisme yang dikeluarkan oleh Balai, padahal sudah jelas nama saya dan Ridwan diusulkan untuk diperpanjang kontraknya oleh Kabupaten selaku penanggunjawab program, dan surat dari Balai itu dimasukkan oleh DPMU selaku distrik koordinator manajemen proyek," ucap Brian.
Nama-nama dilampirkan oleh DPMU sesuai penilaian kinerja, namun usulan kontrak mereka tidak diperpanjang dan malahan diganti dengan orang baru yang justeru berdomisili di luar Maluku.
"Makanya kami ingin klarifikasi di DPRD dan ketika terjadi masalah, gaji tidak dibayarkan," ujarnya.
Biasanya kalau kontrak dengan Pansimas itu secara tahun jamak (muliti years) selama empat tahun dan kontrak untuk tahun 2018 itu berakhir per Juli 2020, padahal sebenarnya kalau mengikuti aturan yang benar, pada saat PT. Inerindo selaku pihak ketiga diperpanjang kontraknya harus satu paket dengan fasilitator.
PT. Inerindo adalah pihak ketiga dan merupakan perusahaan yang membayar gaji fasilitator, tetapi Pansimas itu program dari Kementerian dan dikerjakan oleh Balai.
Tetapi program ini harus dikerjakan lagi oleh pihak ketiga karena menggunakan dana sharing dari bank dunia jadi harus dikelola Inerindo dan provinsi yang mempunyai perusahaan arsistik yang mengelola program, sedangkan Inderindo khusus membayar gaji karena perusahaan ini yang berkontrak dengan PPK balai.
"Kepala Balai menyebutkan alasannya bahwa mereka harus pindah lokasi kerja tetapi tidak dituruti, karena tidak mungkin pindah ke MBD, namun menggunakan standar gaji lama karena tidak rasional," tutur Brian.
Kepala Balai Prasarana Pemukiman Wilayah Maluku, Castela Cholil dalam rapat kerja dengan Komisi III DPRD Maluku dipimpin Richard Rahakbauw menjelaskan, dari 11 kabupaten dan kota di Maluku, Kabupaten MBD dan Kabupaten Kepulauan Aru membutuhkan pendampingan tenaga fasilitator.
Sedangkan di Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan tinggal sepuluh desa yang mendapat program seperti ini, padahal jumlah tenaga fasilitatornya lebih banyak.
Akibatnya Balai membuat surat keputusan untuk penugasan sementara, namun mereka tidak mau dipindahkan ke Kepulauan Aru atau pun MBD.
Sekretaris Komisi III DPRD Maluku, Rifiq Afifudin meminta Balai untuk konsisten dengan para tenaga fasilitator yang kontraknya tidak diperpanjang atau tidak menerima upah berbulan-bulan, apakah mereka sudah diputuskan hubungan kerja atau tidak.
Wakil ketua komisi III, Hatta Hehanussa meminta Balai untuk menyelesaikan persoalan tersebut dan dia juga mempertanyakan apakah merekrut tenaga fasilitator baru lebih mahal atau memperpanjang kontrak bagi mereka yang sudah bertahun-tahun mengabdi.
Sementara anggota komisi lainnya, Ayu Hindun Hasanussy meminta Balai maupun perusahaan vendor untuk menghadirkan dokumen lengkap terkait perjanjian kerja antara mereka dengan para tenaga fasilitator.*