Ambon (Antara Maluku) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ambon memperingati Hari Kebebasan Pers (HKP) sedunia dengan menggelar demonstrasi di Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Maluku, Kamis siang.
Demo yang dipimpin oleh Anggota Divisi Advokasi AJI Kota Ambon, Rahman Patty itu dimulai dengan "long march" dari "Pattimura Park", Pusat Kota Ambon ke Mapolda dengan mengusung tema tewasnya delapan jurnalis di berbagai daerah di Indonesia yang hingga kini kasusnya tidak terselesaikan dengan baik.
Delapan jurnalis itu yakni, Alfred Mirulewan, Jamaludin, Adrainsyah Masra'is Wibisono, Ersa Siregar, Agus W, Udin, Herliyanto dan Naimullah.
Di antara kedelapan jurnalis itu, Alfred Mirulewan merupakan wartawan salah satu tabloit lokal Terbitan Ambon yang ditemukan tewas di Pantai Nama, Pulau Kisar pada 17 Desember 2010.
Ia terbunuh, saat sedang melakukan liputan investigasi terhadap indikasi penimbunan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Kisar, Ibu Kota Kabupaten Maluku Barat Daya.
Ketua AJI Kota Ambon, Insany Syahbarwaty dalam orasinya mengatakan, penanganan kasus delapan jurnalis itu tidak terselesaikan dengan baik karena dari awal sudah sarat rekayasa.
"Dalam banyak kasus tewasnya jurnalis, pelaku sebenarnya masih melanggang dengan bebas karena kepolisian tidak menjalankan tugasnya sesuai Undang Undang. Kasus Udin, Wartawan Bernas Jogja misalnya, kini hanya menunggu waktu untuk lenyap dan tak bisa dilanjutkan karena pada Agustus 2012 nanti tepat batas waktu ekseskusi, yakni 16 tahun," kata Insany Syahbarwaty.
Sementara untuk kasus Alfred Mirulewan, kata dia, Polda Maluku tak mampu mengungkap motif dan aktor intelektual atas peristiwa itu. Kenyataannya, mereka yang dihadirkan ke pengadilan bukan pelaku sebenarnya sehingga hanya menerima vonis ringan karena terbukti tidak terlibat dalam pembunuhan Alferd.
"Lalu siapa yang membunuh Alfred," tanyanya dengan nada tinggi.
Menurut dia, delapan kasus pembunuhan jurnalis justru mandek di Kepolisian RI. Praktek impunitas atas berbagai aksus terbunuhnya jurnalis oleh polisi harus diakhiri karena sangat tidak sesuai dengan semangat dan citia-cita demokrasi.
Dikatakan, sebagai salah satu pilar demokrasi, pers harus dilindungi dari berbagai ancaman. Dengan kata lain kebebasan pers tidak boleh dibunuh atau dibungkam oleh kelompok mana pun dan dengan alasan apa pun.
"Saya ingin semua orang paham bahwa aksi hari ini bukan perjuangan orang pribadi tapi untuk menegakkan pilar demokrasi," kata Insany.
Orator lainnya, Josie Linansera yang merupakan Sekretaris AJI Kota Ambon, mengatakan, segala kasus mengenai pemberitaan wartawan penanganananya harus menggunakan UU Pers Nomor 40 tahun 1999.
"Jika pers salah, yang digunakan penyidik untuk menjerat wartwan malah UU Hukum Pidana, padahal ada UU Pers. Dalam kasus kematian Alfred ada keterkaitan oknum polisi. Tapi hingga kini Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) oknum tersebut tidak ada, malah dia masih menjabat," kata Josie Linansera.
Dia mengatakan, hasil olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang dilakukan Tim Mabes Polri tidak digunakan Penyidik Polda untuk proses hukum kasus Alfred.
"Hal itu menunjukkan Kapolda Maluku, Brigjen Polisi Syarief Gunawan tidak becus mengurus anggotanya," katanya.
Sementara Agil Tunny, Anggota Dewan Pengawas AJI Ambon mengatakan, dari awal penanganannya, kasus Alfred sudah tidak jelas.
"Awalnya Kapolda Maluku mengatakan bahwa Afred meninggal karena mabuk akhirnya jatuh di Laut dan tenggelam. Tapi beberapa hari kemudian, setelah kami melakukan investigasi dan memaparkannya secara gambang di koran, beliau lantas mengatakan Alferd dibunuh. Ada apa ini ? " demikian Agil berorasi.
Selain Para anggota AJI, orasi demo juga disampaikan sejumlah mahasiswa Jurnalistik dan Komunikasi Penyairan Islam (KPI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, di antaranya Udin Leisubun.
Aksi damai yang digelar di Mapolda Maluku berlangsung sejak pukul 10.00 - 12.00 waktu setempat, menghasilkan tiga tuntutan yakni pertama, Polda Maluku harus menyelesaikan segala kasus yang berkaitan dengan pers menggunakan UU Nomor 40 tahun 1999.
Kedua, menuntut Kapolda Maluku, Brigjen Polisi Syarief Gunawan mengungkap secara tuntas dan transparan kasus kematian Alfred Mirulewan.
Ketiga, Polda Maluku harus dapat memulihkan nama baik Almarhum Ridwan Salamun yang terbunuh pada saat sedang meliput bentrok antarpemuda di Desa Fiditan, Kecamatan Dullah, Kota Tual, 21 Agustus 2010 lalu.
Almarhum Ridwan Salamun sempat dijadikan tersangka oleh Polda Maluku, karena diduga terlibat di dalam konfik. Bahkan tiga orang pelaku pembunuhnya yakni Hasan Tamnge, Ibrahim Raharusun, dan Sahar Renuat divonis bebas murni oleh Pengadilan Negeri Tual pada 9 Maret 2011.
Namun Mahkamah Agung lewat putusan kasasinya bernomor perkara 1455K/PID/2012 tanggal 2 Januari 2012 menyatakan Ridwan tidak bersalah dan menghukum tiga orang tersangka pembunuhnya dengan hukuman empat tahun penjara.