Ambon (ANTARA) - Penggantian Sekretaris Daerah (Sekda) oleh Gubernur Maluku, Murad Ismail beberapa waktu lalu menjadi polemik di tengah masyarakat. Apalagi hal tersebut terjadi tidak lama setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyoroti rendahnya penyaluran insentif Nakes COVID-19 di daerah itu.
Yang menjadi pertanyaan yang paling substansial dan elementer adalah dapatkah gubernur yang dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), maupun sebagai Wakil Pemerintah Pusat berwenang sewaktu-waktu dapat melakukan penggantian Sekretaris Daerah?
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Makassar, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. mencermati kebijakan Gubernur Maluku tersebut dari pandangan hukum administrasi serta tata pemerintahan, merupakan sesuatu hal yang biasa saja, serta lumrah dalam praktik teknis kepemerintahan. Sebab hal tersebut telah di atur dalam peraturan perundang-undangan.
"Jika terjadi kondisi faktual serta keadaan hukum tertentu seperti itu, sarana hukum yang mengaturnya adalah Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya ketentuan pasal Pasal 214 yang mengatur bahwa apabila sekretaris daerah provinsi berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas sekretaris daerah provinsi dilaksanakan oleh penjabat yang ditunjuk oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat atas persetujuan Menteri, maupun Peraturan Pemerintah RI nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah," kata Fahri Bachmid dalam pernyataannya yang diterima ANTARA di Ambon, Rabu (28/7).
Fahri Bachmid menjelaskan, dalam peraturan pemerintah itu juga mengatur lebih lanjut tentang keadaan dimana terjadi kekosongan sekretaris daerah yang didasarkan pada alasan-alasan khusus.
"Semisal dipoin a. diberhentikan dari jabatannya; b. diberhentikan sementara sebagai pegawai negeri sipil; c. dinyatakan hilang; atau d. mengundurkan diri dari jabatan dan/atau sebagai pegawai negeri sipil, dengan demikian fenomena tersebut menjadi sesuatu yang generik sesuai kebutuhan pada lapangan praktik administrasi pemerintahan," katanya.
Yang menjadi pertanyaan yang paling substansial dan elementer adalah dapatkah gubernur yang dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), maupun sebagai Wakil Pemerintah Pusat berwenang sewaktu-waktu dapat melakukan penggantian Sekretaris Daerah?
Baca juga: Gubernur Murad tunjuk Sadli Ie jadi Pelaksana Harian Sekda Maluku, mengapa?
"Kita dapat merujuk pada beberapa peraturan perundang-undangan yang secara normatif mengatur terkait hal tersebut, yaitu yang Pertama : Undang-Undang RI nomor 5 tentang 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, sepanjang menyangkut ketentuan norma pasal 114 mengenai pengisian jabatan pimpinan tinggi di Instansi Pemerintah Daerah yang mengatur, pengisian jabatan pimpinan tinggi madya di tingkat provinsi dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi," katanya.
Advokat senior ini juga menambahkan, dari hasil seleksi itu kemudian panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memilih, 3 nama calon pejabat pimpinan tinggi madya untuk setiap 1 lowongan jabatan; dan tiga calon nama pejabat pimpinan tinggi madya yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat 2 disampaikan kepada pejabat pembina Kepegawaian; serta pejabat pembina Kepegawaian mengusulkan tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi madya sebagaimana dimaksud pada ayat 3 kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Dan selanjutnya; Presiden memilih 1 nama dari 3 nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi madya. Kemudian ketentuan pasal 116 ayat 2 tentang Penggantian Pejabat Pimpinan Tinggi, secara khusus mengatur bahwa penggantian pejabat pimpinan tinggi utama dan madya sebelum dua tahun dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden.
"Sehingga dengan demikian dapat dikonstatir secara yuridis bahwa Gubernur sebagai PPK pada hakikatnya diberikan atribusi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan pengisian maupun pergantian jabatan pimpinan tinggi madya di tingkat provinsi, setelah mendapat persetujuan Presiden, jadi proses tersebut secara materill ada pada Gubernur sebagai PPK tentunya dengan alasan-alasan khusus yang secara hukum dapat dibenarkan, dan secara formil ada pada presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN, desain hukum dalam Undang-Undang ASN," tuturnya.
Secara filosofis, lanjutnya, yang dimaksudkan untuk membangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat.
"Termasuk mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan, kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," ucap mantan pengacara Presiden Jokowi di Mahkamah Konstitusi RI pada saat sengketa Pilpres 2019 lalu.
Baca juga: Waduh, Sekda Maluku terkonfirmasi positif COVID-19
Dengan demikian, idealnya penggantian Sekretaris Daerah oleh PPK lebih ditekankan pada perbaikan performa kerja, artinya salah satu aspek yang cukup signifikan yang biasanya di evaluasi oleh PPK kepada Sekda definitif adalah adalah sangat terkait dengan unsur-unsur yang strategis seperti kinerja yang dimaksudkan untuk mengakselarasi tugas pemerintahan dan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan, agar jauh lebih terukur serta kredibel, dan itulah basis pertimbangan serta intensi dibalik kebijakan pemberhentian pejabat pimpinan tinggi oleh PPK.
"Kemudian instrumen hukum lainya adalah Undang-Undang RI nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya ketentuan pasal 213 mengenai Sekretariat Daerah, yang mana rumusan normanya mengatur jika Sekretariat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat 1 huruf a dan ayat 2 huruf a dipimpin oleh sekretaris Daerah," cakapnya.
Fahri menambahkan, Sekretaris Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mempunyai tugas membantu kepala daerah dalam penyusunan kebijakan dan pengkoordinasian administratif terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta pelayanan administratif. Dan dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 2, sekretaris Daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah, dengan konstruksi yuridis diatas adalah sejalan dengan norma konstitusional, sebagaimana diatur dalam rumusan ketentuan Pasal 18 ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 yang mengatur pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan, "sekwensi" dari rumusan norma konstitusional melahirkan konsep local state government dan local self-government. Jika local state government melahirkan wilayah administrasi pemerintah pusat didaerah yang dipresentasikan oleh gubernur, local self government melahirkan daerah atau wilayah otonom yang direpresentasikan keberadaan DPRD, Local state government hanya ada di wilayah provinsi oleh karenanya provinsi memiliki kedudukan sebagai daerah otonom dan sebagai wilayah administratif.
Maka konsekuensinya selain sebagai kepala daerah gubernur juga sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi yang tentunya telah diperlangkapi dengan sejumlah atribusi kewenangannya, termasuk soal pengisian maupun penggantian pejabat pimpinan tinggi madya atau Sekda.
"Itulah desain hukum sekaitan dengan proses pengisian maupun penggantian Pimpinan Tinggi Madya/Sekdai," demikian Fahri Bachmid.
Baca juga: Sekda Malra: Pergantian Plt Direktur RSUD Karel Murni Rotasi Birokrasi
Baca juga: Presiden dijadwalkan letakkan batu pertama Ambon New Port November, tingkatkan perekonomian