Jakarta (ANTARA) - Seseorang dapat selingkuh karena kondisi otaknya, bukan semata meninggalkan istri demi wanita lebih cantik atau meninggalkan suami demi pria yang lebih mapan.
Menurut CEO Stress Management Indonesia Coach Pris, seperti dalam keterangan tertulisnya, Senin, antara perselingkuhan, kesehatan otak, dan kondisi mental seseorang memiliki hubungan yang saling berkesinambungan.
"Kondisi mental seseorang, termasuk selingkuh, memiliki kaitan yang erat dengan kesehatan otaknya. Pada hari kesehatan mental sedunia ini, kami ingin memberikan informasi alasan sebenarnya seseorang berselingkuh, sehingga permasalahan bisa diatasi dari akarnya," kata dia.
Ada empat alasan berbasis neurosains seseorang dapat berselingkuh, berikut ulasan singkatnya:
1. Kecanduan euforia cinta
Pengalaman indah jatuh cinta dan tergila-gila dengan seseorang tidak bertahan selamanya. Ahli saraf menemukan setelah enam bulan hingga dua tahun, rasa cinta yang menggebu-gebu berubah menjadi cinta dan komitmen yang lebih dalam atau keputusan untuk berpisah dan melepaskan diri.
Banyak terapis pasangan mengatakan perselingkuhan terjadi karena orang salah mengira kurangnya intensitas dan euforia sebagai tanda mereka telah putus cinta. Kurangnya euforia ini dapat mendorong seseorang untuk mencari pasangan lain untuk mencoba menciptakan kembali intensitas cinta yang tinggi.
Bagi sebagian orang, kebutuhan untuk merasakan aliran cinta baru membuat mereka terus mencari hubungan di luar nikah.
Baca juga: Christopher Farrel, usia 18 tahun jadi CEO dan kerja di Google
2. Kehilangan sirkuit kontrol diri
Sirkuit kontrol diri adalah sistem penyeimbang antara bagian otak limbik yang memotivasi untuk mencari aktivitas yang menyenangkan dan bagian otak korteks prefrontal (PFC) yang membuat seseorang berpikir dua kali sebelum terlibat dalam perilaku berisiko, seperti perselingkuhan.
Ketika sirkuit kontrol diri seimbang, kontrol impuls memadai menghentikan seseorang dari berselingkuh. Namun, ketika aktivitas PFC rendah, terjadi ketidakseimbangan yang menyebabkan seseorang menyerah pada keinginan impulsif tanpa memikirkan konsekuensinya.
Studi pencitraan otak menunjukkan orang dengan aktivitas rendah di PFC lebih mungkin untuk bercerai. Stress Management Indonesia memiliki program seperti Brain Health Assessment untuk mengetahui kondisi sirkuit kontrol diri otak seseorang.
3. Faktor testosteron
Sebuah studi tahun 2019 menemukan pria dengan kadar testosteron tinggi lebih mungkin untuk melakukan perselingkuhan daripada pria dengan kadar testosteron yang lebih rendah.
Testosteron terlibat dalam suasana hati, motivasi, dan seksualitas. Tingkat testosteron yang tinggi dikaitkan dengan empati yang lebih rendah dan hawa nafsu yang tinggi, yang bisa menjadi resep untuk berselingkuh.
4. Otak yang tidak setia itu berbeda
Studi pencitraan otak telah menemukan otak seseorang yang setia berbeda dari yang selingkuh. Ketika seseorang melihat gambar romantis seperti pasangan berpegangan tangan atau menatap mata satu sama lain, misalnya, aktivasi otak berbeda antara yang setia dan tidak setia.
Penelitian menunjukkan orang yang setia menunjukkan lebih banyak aktivitas saraf terkait hadiah saat melihat gambar romantis dibandingkan dengan orang yang tidak setia.
Lebih lanjut, Coach Pris memberikan kiat untuk mencegah terjadinya perselingkuhan, salah satunya sebaiknya pasangan saling mengenal kondisi satu sama lain sebelum menikah. Hal ini guna bisa memahami kondisi pasangannya dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memperbaiki kondisi.
Pasangan yang sehat akan membentuk anak yang sehat, kemudian mempengaruhi lingkungan sekitar menjadi lebih sehat juga. Untuk mencapai revolusi mental di Indonesia, bisa dimulai dari memperbaiki kondisi unit terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Empat alasan berbasis neurosains seseorang berselingkuh