Ambon (Antara Maluku) - Komando Resort Militer (Korem) 151 Binaya Ambon menyelenggarakan seminar bertajuk konsep penyelesaian pertikaian di Negeri Porto dan Haria, Maluku Tengah guna mencari solusi bagi terciptanya perdamaian antarwarga dua desa tersebut.
Seminar sehari yang dibuka oleh Pangdam XVI/Pattimura Mayjen TNI Eko Wiratmoko di Aula Makorem 151 Binaya Ambon, Rabu, itu menghadirkan Profesor DR. Yapi Watloli dari kalangan akademisi Universitas Pattimura (Unpatti) dan Komandan Kodim 1504 Binaya Letkol Inf. J. Lumbantoruan.
Danrem 151 Kolonel Inf Asep Kurnaedi bertindak sebagai moderator.
Profesor Yapi Watloly mengatakan masalah OTK yang sering menjadi pemucu bentrok Porto-Haria sebenarnya bisa terungkap kalau ada kejujuran dan keterbukaan dari tokoh masyarakat, kepala desa atau Raja dan seluruh komponen masyarakat.
"Aparat keamanan juga pasti kesulitan mencari OTK yang menginginkan pertikaian di Porto dan Haria tetap langgeng," katanya.
Sementara itu, Dandim 1504 Binaya Letkol Inf J. Lumbantoruan mengakui sudah memutasi Babinsanya di dua daerah itu karena tidak mampu membuktikan siapa orang tidak dikenal yang selama ini membuat warga dua desa bertetangga di pulau Saparua itu selalu baku hantam.
"Kami siap bekerja maksimal bersama Polri menjaga situasi keamanan dan perdamaian di Porto dan Haria, asalkan ada kerja sama seluruh komponen masyarakat yang saling terbuka dan jujur," katanya.
Dalam seminar, seorang peserta bernama Usman Warang menyayangkan ketidakhadiran Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu, Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal dan tokoh adat, tokoh masyarakat maupun tokoh pemuda dari dua negeri tersebut.
"Kalau mellihat daftar undangan pejabat dan pimpinan SKPD yang tidak hadir, mereka umumnya memiliki kompetensi dan andil besar dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan pertikaian antarwarga Porto dan Haria, namun sayangnya mereka hanya mengirim perwakilan," katanya.
Menurut Usman, pertikaian Porto-Haria dipicu persoalan batas tanah, pembangunan dermaga di Haria, pembangunan jalan raya hingga masalah kepemilikan `Air Raja`.
Dia juga menekankan perlunya segera dilakukan razia gabungan TNI bersama Polri di Porto dan Haria untuk menyita senjata tajam, senpi rakitan hingga bahan peledak, selain melacak hingga dapat OTK yang masih bebas berkeliaran.
"Masakan dalam tahun ini sudah terjadi 33 kali pertikaian tapi yang namanya pemicu bentrokan yang disebut-sebut sebagai orang tak dikenal (OTK) pun justru tidak dapat diidentifikasi," katanya.
Sementara peserta lain, Lucky Wattimury, menyatakan dirinya tidak setuju dengan masalah tapal batas diselesaikan secara prioritas, karena ini masalah hukum perdata yang harus dituntaskan lewat proses persidangan di pengadilan.
"Batas tanah yang jadi persoalan tetap diupayakan pembuktian kemepmilikannya lewat pengadilan, tapi persoalan konflik juga sangat penting diselesaikan baik melalui pendekatan adat istiadat, keagamaan," katanya.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah harus mengidentifikasi masalah kesenjangan sosial baik dari segi pengangguran maupun kemiskinan warga Porto dan Haria.
Lucky juga mengingatkan bahwa masyarakat bisa saja membuat senjata rakitan, tetapi mereka tidak mungkin bisa membuat proyektil peluru yang digunakan saat terjadi bentrokan.