Ambon (Antara Maluku) - Gubernur Maluku Said Assagaff didesak mencabut izin konsorsium PT Menara Group yang telah mendapatkan izin prinsip Menteri Kehutanan pada 5 Februari 2013 untuk pengembangan perkebunan tebu di Kabupaten Kepulauan Aru.
Desakan tersebut disampaikan Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku yang melakukan unjuk rasa di kantor Gubernur Maluku, di Ambon, Jumat.
Koordinator pengunjuk rasa, Ronald Sopacua, mengatakan, desakan tersebut menindaklanjuti hasil peninjauan Komnas HAM ke Kepulauan Aru, beberapa waktu lalu.
"Kami menolak kehadiran PT Menara Group untuk mengeksplotasi tanah ulayat masyarakat hukum adat setempat," ujarnya.
Pertimbangannya, pembukaan lahan perkebunan tebu diprogramkan seluas 500.000 hektare atau 5.000 KM2. Padahal, luas wilayah Kabupaten Kepulauan Aru hanya 6.325 KM2.
"Jadi Gubernur hendaknya meninjau kembali, selanjutnya mencabut izin PT Menara Group karena kehadirannya melanggar UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," tegas Ronald.
PT Menara Grup telah diberikan izin usaha oleh Bupati Kepulauan Aru, Teddy Tengko pada 2 Juli 2010, rekomendasi Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu tertangal 19 Juli 2011 dan izin prinsip dari Menhut 5 Februari 2013.
"Kami berjuang untuk melindungi pemilik hak ulayat, selanjutnya menjaga kelestarian lingkungan hidup," kata Ronald.
Para pengunjuk kemudian diarahkan Kepala Kesbangpol, Ronny Tairas untuk membuat surat memohon pertemuan dengan Gubernur.
Sebelumnya salah seorang pemilik hak ulayat yang lahannya akan dimanfaatkan untuk perkebunan tebu, Siprianus Alatubir, menyatakan, tidak ada pemegang hak ulayat yang keberatan dengan investasi tersebut karena kehadiran perkebunan tebu strategis untuk pengembangan perekonomian Kabupaten Kepulauan Aru maupun Maluku secara umum.
Konsorsium PT Menara Group berproses di Kepulauan Aru dengan melibatkan para pemilik lahan sebagai pemegang hak ulayat.
"Kami terlibat dalam sosialisasi - survei - pengambilan sampel tanah. Berdasarkan foto satelit lahan yang disurvei baru 203.000 hektare di kecamatan Aru Selatan meliputi 22 dari 31 desa di sana," ujarnya.
Lahan 203.000 hektare itu pun belum diketahui kelayakan hasil sampelnya karena masih diuji di Jakarta dengan melibatkan ahli di bidangnya.
Selain itu, pengembangan usaha perkebunan tebu pun memperhatikan status kawasan hutan yang tidak mungkin merusak hutan lindung maupun lainnya yang diatur ketentuan perundang - undangan.
"Tidak mungkin Kementerian Kehutanan menerbitkan izin prinsip dengan mengabaikan kelestarian lingkungan maupun fungsi - fungsi hutan di Kepulauan Aru," kata Siprianus.
Sedangkan pemilik lahan lainnya, Jefry Thomas Leplepen, menyambut baik investasi perkebunan tebu di areal hak ulayatnya karena strategis untuk pengembangan perekonomian di Kepulauan Aru.
"Kabupaten Kepulauan Aru pengembangan pembangunan saat ini hanya mengandalkan dana alokasi umum maupun khusus serta bagi hasil sehingga dengan rencana investasi puluhan triliuan rupiah itu strategis untuk berbagai sektor," ujarnya.