Ambon, 28/12 (Antara Maluku) - Konsultasi Publik tahap kedua terkait pembebasan lahan sekira 40 hektare untuk Pangkalan Suplai Logistik (Logistic Supply Base = LSB) di daerah Olilit, Saumlaki, Maluku Tenggara Barat terpaksa ditunda hingga Januari 2016, akibat cuaca buruk.
Tim perunding dari pemerintah provinsi Maluku, juga rombongan dari INPEX dan SKK Migas yang hendak terbang ke Saumlaki pada 21 Desember untuk pertemuan itu batal berangkat.
Pasalnya, waktu yang disediakan tidak lagi efektif gara-gara penerbangan pesawat Garuda yang sudah mereka naiki mengalami penundaan keberangkatan hingga empat jam dari jadwal.
Rapat konsultasi yang sedianya dihelat merupakan pertemuan lanjutan dari kegiatan serupa pada bulan sebelumnya, yang mempertemukan Tim Persiapan Pengadaan Tanah bentukan Pemprov Maluku dengan para pemilik lahan yang akan dijadikan LSB.
Masalah yang dibahas tidak lain kapan pembebasan lahan akan dilakukan dan, tentunya, berapa besar biaya ganti rugi yang akan diterima para pemilik lahan.
Pada pertemuan pertama hadir sedikitnya 62 pemilik lahan, dan dalam pertemuan itu sebanyak 52 di antaranya setuju tanah mereka dibebaskan. Karena itu, rapat konsultasi tahap kedua pun dijadwalkan khusus bagi mereka yang masih mempertimbangkan beberapa hal dan yang nyata-nyata menolak.
Dapat disebutkan di sini bahwa pihak yang paling keras menolak adalah keluarga besar pemilik usaha restoran dan resort wisata Beringin Dua.
Mereka bahkan menyatakan ingin membangun LSB untuk mendukung eksplorasi dan eksploitasi 25 blok migas di Maluku, dan untuk itu sudah membangun konsorsium dengan salah satu pengelola pangkalan suplai logistik di Marunda, Jakarta.
Sementara itu, Sekretaris Tim Persiapan Pengadaan Lahan, Hamin bin Thahir menyatakan pertemuan kedua bertujuan mencari solusi yang baik bagi para pemilik lahan yang belum setuju melepas tanah mereka, sehingga pembangunan LSB dapat terlaksana.
Apa lacur, cuaca buruk memaksa pertemuan itu harus ditunda hingga tahun depan.
Sungguhpun demikian, rencana pembangunan LSB di Saumlaki yang telah mendapatkan restu dari Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup terkait persyaratan aman dampak lingkungan (amdal), memberi indikasi bahwa kegiatan ekplorasi minyak dan gas di Blok Masela, sekira 150 km (75 mil) lepas pantai ibu kota Maluku Tenggara Barat tersebut sudah mendekati tahap produksi.
Lokasi terdekat
Desa Olilit, Tanimbar Selatan yang berada di Pulau Yamdena merupakan lokasi terdekat dari titik-titik pemboran (eksplorasi) yang dilakukan oleh INPEX dan Shell, dua raksasa perusahaan migas asing asal Jepang dan Belanda di Blok Masela.
"Yang terdekat memang Desa Olilit ini, dan penetapannya sudah melalui survei dan kajian lokasi," ucap Manajer Senior Komunikasi dan Relasi INPEX Usman Slamet.
Sementara itu, Bupati MTB Bitzael Sylvester Temmar dalam arahannya pada acara Konsultasi Publik tahap pertama menyatakan harapan agar segala persoalan menyangkut pembebasan lahan untuk LSB itu dapat dibahas dan dicarikan solusi yang baik.
"Yang terpenting LSB itu dibangun di sini, jangan sampai dipindah ke daerah lain, karena itu artinya kita semua warga MTB dan Maluku secara umum yang rugi," imbuhnya.
Ia menyatakan pembangunan LSB di daerah itu akan menyedot ratusan bahkan ribuan tenaga kerja lokal, apalagi jika dihitung dengan industri ikutan lainnya seperti gas rumah tangga, peternakan, restoran, katering, binatu, dan sebagainya.
"Yang pasti Saumlaki akan jadi metropolitan," ujarnya.
Sementara itu, pemikiran lain yang muncul menyebutkan adanya pertimbangan untuk membangun LSB pendukung kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas Blok Masela itu di Kabupaten Kepulauan Aru atau Kota Tual (Maluku Tenggara), atau bahkan di Nusa Tenggara Timur.
Menanggapi hal ini, Usman Slamet menyatakan hal yang terpenting dalam bisnis adalah efektivitas dan efisiensi.
"Saumlaki adalah pilihan yang rasional," katanya.
Darat atau laut?
Selain masalah lahan untuk pembangunan LSB, persoalan yang kini sedang diperbincangkan adalah tentang penggunaan teknologi FLNG (penampungan gas di atas kapal laut) dan pembangunan pipa distribusi gas ke darat.
Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan, dalam kesempatan berkunjung ke Maluku belum lama ini menyatakan bahwa pemerintah menginginkan pembangunan pipa distribusi gas ke kilang penampungan di darat dengan alasan mempermudah pengawasan terhadap proyek tersebut.
Sementara INPEX menawarkan teknologi FLNG (terapung) dengan alasan biaya pembangunan yang lebih murah.
Menurut perusahaan tersebut, pembangunan pipa distribusi dan kilang penampungan gas di darat bisa menghabiskan dana 19 miliar dolar AS, sementara FLNG hanya 14 miliar dolar AS.
"Jadi ada sekira lima triliun rupiah yang bisa dihemat dan disalurkan ke keperluan lain yang dinilai penting," kata Usman.
Meskipun demikian, ia menyatakan INPEX akan mengikuti keputusan pemerintah Indonesia.
Sementara itu, pemerintah provinsi Maluku sedang meminta masukan dari konsultan ahli tentang masalah tersebut.
"Kami tentu memikirkan mana yang terbaik untuk Maluku dan Indonesia secara umum," tutur Gubernur Maluku Said Assagaff.
"PI" 10 persen
Persoalan lain yang masih menjadi perhatian besar bagi masyarakat dan pemerintah provinsi Maluku adalah peluang mendapatkan hak kepesertaan (participating interest) sebesar 10 persen dalam pengelolaan migas Blok Masela.
Berdasarkan prakiraan awal, proyek migas Blok Masela menghabiskan dana pembiayaan sebesar Rp140 triliun. Artinya, pemerintah provinsi Maluku selaku daerah penghasil harus menanamkan modal sebesar Rp14 triliun, apabila PI 10 persen itu benar-benar diberikan.
Pemerintah dan DPPD Maluku menyatakan keinginan besar untuk mendapatkan hak kepesertaan itu, dan telah membentuk sebuah BUMD yang akan terjun di usaha tersebut. Sementara beberapa pihak mempertanyakan kemampuan keuangan daerah dalam menutup dana investasi yang diperlukan.
Pertimbangannya, PAD Maluku sampai saat ini berkisar antara 1,2 hingga 1,5 triliun rupiah, dan tidak ada yang bisa ditabung untuk keperluan investasi sebesar Rp14 triliun di Blok Masela.
Terkait masalah itu, pemerintah dan DPRD Maluku menyatakan sudah ada investor yang akan mengatasinya.
Terlepas dari tiga masalah yang telah disebutkan, migas Blok Masela tentu diharapkan dapat menjadi sumber penghasilan yang akan mengeluarkan Maluku dari sebutan "provinsi termiskin" di Tanah Air.
Selain hak kepesertaan, alternatif lain yang bisa diambil oleh pemerintah dan rakyat Maluku adalah sebagai penyedia barang dan jasa terkait proyek tersebut.
Untuk keperluan itu, INPEX belum lama berselang juga sudah memberikan sosialisasi tentang persyaratan dan tata cara bagi siapa saja pengusaha di Maluku yang berminat.
Sosialisasi ini pun bisa dibaca sebagai salah satu indikasi bahwa ekploitasi migas Blok Masela tidak akan lama lagi waktunya.