Jakarta (ANTARA) - Bagai buah simalakama, dimakan Bapak mati, tidak dimakan Ibu mati. Jika dilihat secara permukaan, pengambilan keputusan untuk mencetak atau tidak mencetak uang di saat-saat krisis karena pandemi belakangan ini boleh jadi seperti buah simalakama.
Pro-kontra yang terjadi antara Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI dan Bank Indonesia juga seolah kian menguatkan kesan serba salah tersebut.
Usulan yang dilemparkan oleh Banggar DPR ini bisa jadi kelihatan masuk akal saja untuk dilakukan dan juga berfokus pada kepentingan masyarakat banyak yang terdampak luar biasa secara ekonomi.
Alasan yang sama juga dikemukakan oleh mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, untuk memitigasi dampak ekonomi khususnya pada sektor riil dan UMKM.
Selain usulan-usulan tersebut, penggunaan asumsi ekonomi teori moneter modern (MMT/ Modern Monetary Theory) yang menyatakan bahwa negara tidak mungkin bangkrut karena menerbitkan uang juga turut naik ke permukaan.
Meski dalam perjalanannya, konsep MMT ini sendiri mendapatkan pertentangan oleh banyak tokoh-tokoh ekonomi karena cenderung naif dan tanpa perhitungan. Argumen bantahan atas praktik MMT bahkan juga dikemukakan oleh ekonom peraih Nobel, Paul Krugman di tahun 2011.
Ide-ide baru memang tidak boleh ditolak begitu saja karena bisa jadi mengandung solusi-solusi baru juga. Namun, bukan berarti konsep-konsep klasik yang selama ini telah terbukti dan teruji dapat tergantikan begitu saja. Apalagi, jika sesuatu yang baru tersebut kurang kuat secara pondasi.
Bagaimana bisa MMT melakukan oversimplifikasi bahwa negara akan baik-baik saja ketika menerbitkan uang, dan hanya keputusan politis yang bisa membuat sebuah negara bangkrut?
Kita misalkan saja BI bersedia untuk menerbitkan rupiah, kemudian apa yang akan terjadi selanjutnya? Mahasiswa Fakultas Ekonomi dengan sangat cepat dan mantap akan menjawab bahwa inflasi adalah hal yang tak bisa dihindarkan sebagai konsekuensi dari banyaknya jumlah uang yang telah beredar.
Kemudian coba bayangkan, ketika pandeminya sudah selesai dan keadaan ekonomi mulai berangsur membaik.
Siapa yang mau menyerap kelebihan peredaran Rupiah yang baru dicetak tadi, Rp4.000 triliun jika mengikuti saran mantan Mendag?
Maka yang kemungkinan besar terjadi kemudian adalah, inflasi luar biasa yang mengakibatkan pelemahan nilai Rupiah.
Tidak berhenti disana, inflasi yang diperkirakan akan terjadi akan membuat daya beli menurun karena harga-harga akan semakin melambung tinggi akibat pelemahan nilai mata uang tadi.
Jangan lupakan juga para investor yang kemungkinan besar akan meninggalkan negara kita karena menilai manajemen likuiditas yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan Pemerintah tidak “prudent”.
Kombinasi dari pelemahan nilai mata uang yang mengakibatkan daya beli menurun dan trust issue dari investor yang menyebabkan investor pergi dari Indonesia ini akan menyebabkan gelombang PHK besar-besaran yang bisa jadi akan lebih dahsyat dibanding yang sudah terjadi sekarang ini.
Ibaratnya, tidak hanya sudah jatuh dan tertimpa tangga, melainkan sekaligus tertimpa bangunan rumah yang ternyata ikut-ikutan ambruk pula.
Zimbabwe adalah contoh paling populer dan ekstrem dari kegagalan manajerial negara yang terjebak dalam urusan cetak-mencetak uang.
Zimbabwe tercatat pernah menyentuh inflasi 231 juta persen pada tahun 2008. Tingginya angka inflasi ini yang kemudian mendorong mereka untuk melakukan redenominasi mata uang, dengan menyederhanakan uang 10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe.
Masa sih, kita sudi mencontoh negara gagal?
Meski China juga bisa menjadi contoh dari negara yang berhasil dalam melakukan pelemahan nilai mata uangnya, Yuan. Namun, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara China dan Indonesia.
Pemerintah China sejak tahun 1970an telah berfokus menjadi pusat industri dengan keunggulan kompetitif tenaga kerja yang murah dan pengembangan sistem pabrik yang kuat untuk mendistribusikan seluruh produknya ke seluruh belahan dunia.
Hal ini yang membuat China semakin diuntungkan dengan pelemahan nilai mata uang yang mereka lakukan sendiri, membuat produk-produk mereka semakin berdaya saing dengan harga yang lebih kompetitif. Dan, sebagai kekuatan ekonomi nomor 2 terbesar dunia, masalah penyerapan Yuan bukan menjadi masalah bagi China.
Kontras, Indonesia tercatat masih mengalami defisit impor 3,20 miliar dollar AS di sepanjang tahun 2019. Melemahnya nilai Rupiah tentu akan sangat merugikan Indonesia. Lagipula, siapa yang bersedia menampung Rupiah ketika nilainya jatuh?
Berkaca dari sejarah
Sebetulnya kita akan mudah saja menentukan mana yang lebih baik dari kedua pilihan ini, jika kita bersedia untuk sebentar saja membuka lembaran sejarah kita.
Setidaknya ada dua catatan masa lalu yang bisa dijadikan sebagai bahan refleksi mengenai potensi hiperinflasi ini, yakni gagalnya kebijakan Sanering (pemotongan nilai mata uang) yang mengakibatkan krisis ekonomi 1960an dan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) 1998.
Inflasi luar biasa yang terjadi saat itu, menimbulkan kekacauan ekonomi yang luar biasa dan juga disinyalir menjadi penyebab lengsernya Presiden yang menjabat kala itu, Soekarno dan Soeharto.
Maka dengan mengacu pada kealpaan di masa lalu tersebut, kita dapat menilai bahwa keputusan Bank Indonesia saat ini yang melakukan injeksi likuditas atau quantitative easing (QE) dengan tidak menerbitkan uang baru sudah tepat.
Opsi alternatif yang diambil dengan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) hingga membeli kembali Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder merupakan kebijakan moneter yang sangat bijaksana untuk dilakukan saat ini, karena lebih minim risiko.
Ditambah lagi, kita juga berharap bahwa kerja keras Pemerintah dalam menyelesaikan kasus COVID-19 ini serta peran Menteri Keuangan dalam memainkan instrumen fiskal untuk menjaga stabilitas ekonomi di masa krisis ini segera membuahkan hasilnya.
*) Dr. Endah Sri Wahyuni, SEAk, MAk, CA, CRMP, CPMA adalah Alumni Program Doktoral Akuntansi FEB UI
*) Yudha Basuki, SE adalah Alumni FEB UI