Jakarta (ANTARA) - Setelah beberapa kali ditunda untuk dirilis di layar lebar, "Dune", film terbaru sutradara Denis Villeneuve ("Arrival", "Blade Runner 2049"), akhirnya segera hadir di bioskop.
Namun, apakah penantian panjang itu layak untuk ditunggu?
"Dune" -- merupakan adaptasi dari novel fiksi ilmiah klasik berjudul sama karya Frank Herbert pada tahun 1965 -- menceritakan kisah Paul Atreides (Timothee Chalamet).
Paul adalah seorang pemuda cerdas dan berbakat yang lahir dengan takdir besar di luar pemahamannya.
Ia merupakan pewaris Keluarga Bangsawan Atreides. Paul muda menghabiskan hidupnya mempersiapkan diri agar pantas menyandang nama keluarganya. Ia memiliki seorang ayah yaitu Duke Leto (Oscar Isaac) dan ibunya Jessica (Rebecca Ferguson).
Baca juga: Suka film horor, ini rekomendasi tayangan mencekam sambut halloween di Netflix
Seiring berjalannya waktu, ia ditakdirkan harus pergi ke Arrakis -- planet paling berbahaya di alam semesta untuk memastikan masa depan keluarga dan bangsanya.
Dihantui oleh penglihatan akan seorang gadis misterius (Zendaya) dan masa depan yang tak terelakkan, dia meninggalkan dunia masa kecilnya untuk kehidupan baru di planet paling berbahaya di semesta.
Hingga akhirnya, tiba kekuatan jahat memicu konflik untuk memperebutkan suplai sumber daya paling berharga yang hanya ada di planet ini — disebut "Melange" -- sebuah komoditas atau rempah yang mampu membuka potensi terbesar umat manusia.
Hanya mereka yang dapat menaklukkan ketakutan mereka sendiri yang akan bertahan dari ganasnya planet gersang dengan padang pasir tak berujung dan dihuni oleh cacing raksasa tersebut. Paul pun harus menghadapi ketakutan terdalamnya jika ingin mewujudkan takdir sejatinya.
Baca juga: Film "Paranoia" tayang perdana 11 November 2021 di bioskop
Sutradara Villeneuve dikenal dengan pendekatan sinematik yang unik. Ia, tanpa diragukan lagi, merupakan salah seorang pembuat film yang begitu kaya akan visualisasi "aneh", namun di saat bersamaan sangat memanjakan mata, dan membuat penonton terpana dan fokus.
Seperti film-filmnya yang lain, dalam "Dune", Villeneuve memiliki pacing yang cenderung lambat -- ia tidak takut memaksa audiens untuk mengikuti perjalanan para lakon utamanya mencari sebuah jawaban atas misteri dan keraguan mereka melalui durasi film yang panjang.
Novel "Dune" sendiri sangat kuat dalam visualisasi yang tertuang dengan apik melalui kata-kata yang dirangkai oleh Herbert. Sang penulis buku membawa pembaca untuk menjelajahi Arrakis melalui penggambaran, beragam tokoh, dan kosakata yang membuat "Dune" benar-benar menjadi sebuah dunia yang begitu baru.
Hal ini membuat "Dune" dinilai sulit untuk diadaptasi ke bentuk film. Novel ini pernah dianggap "tidak bisa difilmkan" karena kontennya yang begitu luas.
"Dune" sebelumnya pernah diadaptasi ke bentuk film oleh David Lynch pada tahun 1984, dan kurang diterima oleh para penggemar bukunya.
Di sisi lain, Villeneuve dengan gaya penceritaannya mencoba untuk menyuguhkan pengalaman tersebut ke dalam bentuk audio-visual. Betapa ganasnya planet Arrakis, bagaimana para karakter memiliki motivasinya masing-masing, bagaimana teknologi mampu mewujudkan motivasi tersebut di masa depan.
Ia menemukan variasi dan tekstur yang mengejutkan dalam palet warna nan umumnya berdebu dan tandus -- yang mungkin sesuai dengan imaji dari para pembaca novelnya.
Dalam bukunya, "Dune" memiliki cerita yang begitu kompleks dengan banyak karakter, filosofi, tema, dan istilah. Ini adalah hal yang cukup tricky bagi sineas yang mengadaptasi buku ke format film.
Sutradara memadukan potongan-potongan adegan yang berlatarkan di masa lalu, kini, dan depan untuk menyuguhkan audiens kepingan puzzle untuk disusun dalam film ini.
Visualisasi ini tak lepas dari peran sinematografer di baliknya, Greig Fraser ("Vice", "Rogue One: A Star Wars Story"). Film ini begitu besar, namun juga tematik serta minimalis dalam beberapa aspek.
Fraser sendiri dikenal untuk menghadirkan kesederhanaan untuk mendukung emosi dan kompleksitas cerita dan tokoh di dalamnya, dan hal ini juga terjadi dalam "Dune".
Hal lain yang membuat "Dune" begitu dinantikan adalah jajaran para pemainnya. Chalamet -- aktor muda yang tengah naik daun, kembali membuktikan kebolehannya dalam dunia akting. Sayangnya, karakternya di sini tak begitu kuat jika dibandingkan oleh lakon lainnya.
Sebut saja Rebecca Ferguson. Kehadirannya sebagai Jessica melabuhkan sisi yang lebih emosional dari film, dan membuatnya menjadi karakter yang paling terasa "berdimensi".
Di sisi lain, terdapat sejumlah karakter yang begitu mencuri perhatian. Duncan Idaho (Jason Momoa) dan Gurney Halleck (Josh Brolin) sebagai dua figur mentor yang tangguh untuk Paul sangat menyenangkan untuk disaksikan. Tak lupa Stellan Skarsgård sebagai Baron Vladimir Harkonnen pun membuat audiens berkali-kali terkejut melalui penampilannya.
Pengalaman visual dan cerita ini didukung dengan baik melalui musik dan scoring dari Hans Zimmer -- yang sudah pernah berkolaborasi dengan Villeneuve melalui "Blade Runner 2049".
Baca juga: Daniel Craig antusias jelang perilisan film James Bond "No Time To Die" di bioskop
Zimmer mampu membuat score dan musik menjadi bagian yang vital dalam membawa penonton mengikuti perjalanan Paul, serta menjaga perhatian dan keterikatan audiens menyaksikan film dengan durasi 2 jam 35 menit ini.
Secara keseluruhan, "Dune" bisa dibilang layak untuk ditunggu karena menyajikan pengalaman sinematik yang penuh -- dan menjadi alasan utama betapa menyenangkannya tenggelam dalam cerita melalui menonton film di layar lebar.
Sementara itu, meskipun sekuelnya belum secara resmi diberi lampu hijau oleh studio Legendary, Villeneuve telah menyatakan bahwa film 2021 akan mencakup paruh pertama dari novel, dengan bagian kedua akan mencakup separuh sisanya.
"Dune" akan tayang di berbagai bioskop di Indonesia mulai 13 Oktober.
Baca juga: Chris Pratt hingga Seth Rogen isi suara "Super Mario Bros", tokoh ikonik Nintendo
Resensi film: "Dune", suguhan cerita kompleks dengan pengalaman sinematik
Minggu, 10 Oktober 2021 7:50 WIB