Ambon (ANTARA) - Indonesia dengan beragam suku dan budaya memiliki keunikan kearifan lokal yang menarik untuk diketahui traveller, salah satunya ada di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Di sana ada tradisi Sasi hasil laut atau larangan yang digunakan untuk menjaga kelestarian laut Maluku yang kaya akan sumber daya alamnya.
Tradisi sasi ini juga ditemukan di Sumatera, seperti di Provinsi Riau disebut Lubuk Larangan, dimana masyarakat adat setempat melarang warganya menangkap ikan di bagian sungai tertentu yang dibatasi seutas benang.
Di Ohoi (Desa) Ohoirenan Kecamatan Kei Besar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara (Malra), tradisi sasi ditetapkan di laut. Buka sasi atau panen hasil di Kepulauan Kei merupakan suatu tradisi yang unik yang menjadi warisan turun temurun.
Kace Ecep Ubro, Ketua Cabang GSKI Tual-Malra, menjelaskan sasi hasil laut yang baru saja dilakukan di Ohoi Ohoirenan pada awal tahun ini adalah untuk panen lola atau bio lola, sejenis siput atau kerang laut yang cangkangnya berbentuk kerucut. Lola hidup diantara bebatuan, patahan karang, karang mati yang memiliki celah dan rongga, dan celah karang yang masih hidup. Mereka umumnya ditemukan di perairan tropis dan subtropis di kedalaman satu sampai 10 meter.
Baca juga: Fenomena Air Salobar potensial jadi destinasi wisata Maluku Tenggara yang harus dikunjungi traveller
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, secara geografis penyebaran lola hanya terbatas di daerah ekosistem terumbu karang. Di Indonesia, daerah utama sebaran lola adalah di bagian timur yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, NTT dan Maluku.
Menurut Kace Ubro, kegiatan buka sasi hasil laut untuk panen lola yang dilakukan di Ohoi Ohoirenan Kecamatan Kei Besar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara, memiliki nilai dan filosofi tersendiri bagi masyarakat setempat.
"Karena lewat kegiatan seperti ini selain untuk mendapatkan bia lola untuk dikonsumsi, hal yang terpenting adalah semakin mempererat kekerabatan antar sesama masyarakat ohoi yang dapat dilihat dari antusias warga yang berbondong-bondong tanpa pandang bulu turun ke laut untuk mencari bia lola," kata Kace Ubro.
Ia mengatakan tradisi ini punya potensi untuk dikembangkan. Sebabnya, kearifan lokal ini selain menjaga kelestarian sumber daya laut dari penangkapan berlebihan, juga menarik untuk dijadikan festival untuk pengembangan pariwisata dari ohoi di Malra.
"Kami juga berikan apresiasi kepada Pemerintah ohoi Ohoirenan serta seluruh elemen yang ada yang sangat serius dan progresif dalam mengelola potensi ohoi yang salah satunya dengan buka sasi ini. Diharapkan ke depan kegiatan dan acara seperti ini dikemas dalam sebuah festival budaya lokal ohoi agar dapat dilakukan dalam skala yang lebih besar," demikian Kace Ubro.
Baca juga: Galeri Ekraf percantik destinasi wisata Gong Perdamaian di Ambon, cocok untuk staycation